CatatanCatatan Perjalanan GuaHeadline

Waktunya Srikandi Membuktikan

Sharfina, Ginatia, Rizkia, Istiani Yoviana

Suara riuh orang berbondong-bondong mencoba masuk sambil membawa barang-barang, ada mereka yang sibuk menukar tiket, ada yang mengantri untuk pemeriksaan tiket, ada pula yang duduk menunggu jadwal kereta berikutnya. Keadaan di luar stasiun ini tidak lah jauh berbeda, ramai, kedatangan yang disambut atau kepergian yang diantarkan. Saya dan tim dengan ditemani Kang Samudra dan Teh Rizkia, bersama bawaan kami yang banyak, menunggu sambil duduk di lantai dan makan nasi kuning sebagai menu sarapan pagi.
Pukul 10:00 saya dan tim melewati pemeriksaan tiket dan mulai masuk kereta. Masing-masing dari kami membawa dua carrier, ditaruh di punggung satu dan digendong di depan satu. Berisi logistik alat dan konsumsi, juga barang-barang pribadi kami seperti pakaian ganti, jas hujan, dan alat mandi. Di dalam kereta, menata barang-barang yang kami bawa tidak secmudah dan secepat perkiraannya. Tas-tas besar itu diangkat-angkat untuk ditaruh diatas, didorong diselip-selipkan dibawah bangku, serta dibiarkan berdiri didekat pintu gerbong, agak menghalangi, tapi tak ada pilihan lain. Yang kami lakukan adalah meminta maaf dan pengertiannya pada penumpang lain didepan kami yang mungkin sedikit tidak nyaman.
Tak banyak yang dikerjakan di kereta. Kami hanya tidur, makan, dan sesekali berbincang. Saya yang waktu itu sedang tidak memiliki gawai menjadi lebih banyak berinteraksi dan mengobrol dengan orang asing. Bercerita dengan Wildan, seorang kenalan dari Bandung yang hendak pergi ke Kertosono. Atau dengan beberapa anggota Wanadri yang kebetulan akan melakukan pengembaraan, sama dengan kami.
Pemberhentian pertama kami adalah Surabaya. Dini hari kami sampai, pukul 01:00. Kereta selanjutnya menuju malang berangkat pukul 04:00. Sambil menunggu kami gunakan waktu untuk memejamkan mata kembali. Lagi, kami mengulangi rangkaian aktivitas satu hari yang lalu. Tergopoh-gopoh masuk kereta, menata bawaan kiri dan kanan atas dan bawah. Kembali menikmati perjalanan yang kini hanya butuh tiga jam saja, tak belasan jam seperti kemarin.
Malang, sampai kami di sekretariat Impala UB. Rasanya, semua akan berjalan sesuai apa yang kami rencanakan diawal. Datang, bersilaturahmi, berbincang, meminjam alat, mengurus izin, lalu langsung menuju lokasi gua. Tapi itu bukan petualangan, petualangan sesungguhnya muncul ketika suatu hal tak berjalan sesuai perencanaan. Perhutani memaksa kami memindahkan lokasi kegiatan karena adanya macan tutul. Izin kami ditangguhkan, kami kembali menentukan lokasi gua yang akan kami telusuri. Akhirnya, memindahkan tempat kegiatan menjadi keputusan yang paling tepat saat itu. Malam itu kami menginap di Impala, meneguhkan kembali hati dan mental kami. Karena perlu diakui, hal itu sempat membuat kami turun percaya diri.
Keesokan malam, kami pergi ke Desa Banjarejo dan menginap di rumah milik Pak RT. Berbincang mengenai gua, lokasinya, dan kondisinya. Kami diterima sangat baik oleh Pak RT dan keluarganya. Diperhatikan selayaknya keluarga sendiri yang sudah lama tak berjumpa. Hari-hari kami disana tak lepas dari bantuan keluarga ini. Ibu yang terkadang memberi kami tambahan bahan makanan berupa sayur, membuatkan teh tatkala kami kehujanan, menyiapkan alas tidur kami. Pun bapak yang senantiasa meminjamkan kendaraannya saat kami butuh, memasang pipa saluran air agar kami dapat mandi dengan bersih, membereskan ruangan belakang agar kami memasak dengan nyaman. Jika kami telat pulang karena perjalanan yang ditempuh dari gua bertambah jauh, atau waktu penelusuran yang ditambahkan, keluarga ini akan menunggu kami di depan pintu rumahnya sampai kami datang.


Hari-hari penelusuran kami tidak berjalan dengan mudah begitu saja. Tingkat kesulitan tidak hanya didapatkan dari gua, kondisi medan, ataupun cuaca. Kesulitan menghadapi masing-masing dari kami, ego, sikap juga menjadi sesuatu yang baru. Ternyata, tak semua dikeluarkan saat pra-operasional, segalanya semakin jelas dan terbuka lagi saat kami harus menghabiskan 12 hari ini dengan selalu bersama. Tak jarang kami berdebat, saling menyalahkan, atau marah. Tapi karena kami harusmengerjakan sesuatu bersama, menghabiskan banyak jam bersama mau tak mau kami harus saling mengalah, meminta maaf, dan memahami.
14 Februari 2020, hari kedua kami di desa. Belum ada kegiatan memasuki gua. Hari itu, kami agendakan untuk survey hasil interpretasi. Kami mencari mulut gua dan titik-titik koordinatnya berada. Tidak semudah bayangan. Lelah sudah pasti, dalam setiap operasional itu hal pertama yang selalu dirasakan. Tapi itu bukan masalah. Saat interpretasi yang kami lakukan yaitu membaca peta, mengikuti gps, naik turun bukit, menebas semak, memanjat batu, dan mengikuti sungai. Perjalanan kami hari itu juga bukan perjalanan yang baik-baik saja atau pun tidak menyebabkan apa-apa. Berkali-kali saya jatuh, terperosok, terjerembab, terpleset. Satu diantaranya jatuh ke jurang dengan dasar sungai. Karena tidak memerhatikan garis kontur dan kesalahan saat memijak, akhirnya saya terperosok. Dengan kaki mengantung di udara sebab tak ada lagi pijakan, dan tangan yang berpengangan erat pada akar-akar pohon. Paha saya tertusuk duri-duri tanaman rotan, saya sulit bergerak. Sedikit bergeser, duri itu semakin menancap. Akhirnya saya berhasil selamat, dengan bantuan Isti dan Teh Rizkia yang menarik saya dengan webbing. Tidak berakhir, hari-hari berikutnya bukan berarti hal-hal seperti ini tidak terjadi lagi. Jatuh, luka dan lebam akan kami dapatkan setiap harinya. Itu seperti, salam hangat dari kegiatan operasional ini. Atau kenang-kenangan dari gua-gua yang kami masuki.
Berada di dalam gua atau untuk mencapai gua memiliki tingkat kesulitannya masing-masing. Gua Lawa dengan lumpur dan airnya yang beberapa kali membuat kami harus berenang; Gua Kepuh dengan boulder-bouldernya yang membuat kami harus chimneying, bouldering, dan climbing; Gua Waduk yang pendek, tak memberi kesulitan apapun , tetapi mengharuskan kami untuk mencari gua lain sebab karenanya hasil pemetaan kami belum mencapai target. Meski memasukinya tak mendatangkan kesulitan apapun, tapi karenanya kami harus menuju Gua Bantol, dan karena itulah kesulitan-kesulitan yang lain hadir. Kesuulitan itu yang kami sebut dengan petualangan.


Menuju Gua Bantul, tim yang diberangkatkan seluruhnya perempuan, Saya, Fina, dan Isti dengan ditemani oleh Teh Rizkia sebagai pembimbing. Kami berjalan kembali menyusuri sungai. Basecamp dan penjaganya kami tinggalkan dekat dengan enterance Gua Waduk. Kami berjalan cukup jauh memakan waktu 1 jam 30 menit. Tidak hanya berjalan, kami berenang melewati telaga sebab daratan sudah habis. Sulit berenang menggunakan sepatu booth, tapi kami tidak bisa melepasnya begitu saja. Kehilangan booth, artinya ada kesempatan bagi kami kehilangan nyawa. Minimal, luka-luka. Karena alat apapun bentuknya, adalah nyawa kami di lapangan. Setelah melewati telaga, rintangan baru hadir. Seolah telah disiapkan oleh alam agar kami para srikandi ini bisa melewati batas-batas kami dan bisa begitu berani. Air terjun, memang tak begitu tinggi tapi dibutuhkan usaha memanjat untuk melewatinya. Akhirnya saya memanjat pertama. Karena licin, bukannya berhasil saya kembali terjerembab dan jatuh ke telaga lalu kembali berenang. Teh Rizkia sebagai pemanjat kemudian turun tangan. Naik terlebih dahulu lalu mengulurkan webbing untuk kami semua naik. Sampai di mulut gua, rintangan belum berakhir. Ternyata gue ini perlu ditelusuri dengan cara merayap. Sempit, penuh lumpur. Kami merayap seperti di dalam film perang. Rasanya seperti prajurit yang tengah melakukan gerakan bawah tanah. Coverall kami tergores-gores, robek di beberapa bagian. Tapi kami berhasil memetakan gua nya sampai unexplore, karena semakin dalam gua ini semakin menyempit. Kami kehabisan waktu, keluar tepat jam 16:00 dimana seharusnya pukul sekian kami sudah ada di basecamp. Terdengar pluit dari jauh, ternyata Timothy sudah berusaha menyusul kami. Kami bertemu di telaga untuk kembali ke basecamp bersama. Hujan, kami khahwatir karena masih di sungai. Akhirnya pukul 18:00 kami sudah kembali ke hutan, 19:00 kami berhasil sampai jalan menuju desa. Pukul 20:00 kami sampai rumah dengan keadaan keluarga Pak RT telah menunggu di depan pintu, membuatkan kami minuman hangat. Mereka sama khawatirnya. Kami menceritakan hari itu, apa saja yang kami lewati. Juga tentang jejak anjing yang kami lihat. Pak RT bilang telaga itu dulunya sarang harimau, mungkin saja apa yang kami lihat adalah jejak kaki milik anaknya. Karena tak banyak warga yang beraktivitas disana, bahkan saat itu tak ada satu orang lain pun yang kami temui di sepanjang sungai. Hari itu bagi saya adalah hari yang paling berkesan, sebab kami perempuan-perempuan ini mampu melewati semua medan sulit itu sebagaimana yang dikatakan Timothy saat melihat telaga dan air terjun itu, “bagaimana cara orang-orang itu melewati ini?”. Tapi kami, melewatinya. Ada waktu bagi srikandi ini membuktikannya.


Tujuh hari total kami berada di desa ini dan menghabiskan waktu bersama keluarga Pak RT. Waktu kembali ke Malang untuk kemudian pulang ke Bandung akhirnya tiba. Tak kami sangka hari itu saat melepas kami, keluarga ini menumpahkan air matanya. Melepas kami mungkin rasanya seperti melepas keluarga sendiri. Ibu memeluk kami, semuanya mengantarkan kami sampai ke pinggir jalan sampai kami masuk ke dalam mobil. Mereka masih terus melambaikan tangannya.
Sampai di Malang kami kembali ke Impala UB, kami disambut lagi dan kembali berbagi cerita. Keesokannya kami menghabiskan waktu masih di Malang, pergi ke Batu diantar oleh Mas Sahlan dari Impala. Kami memilih pulang esoknya. Kembali mengucap salam perpisahan, berterimakasih, dan berkata jangan sungkan untuk bertukar kesempatan saling mengunjungi “jangan lupa main ke Bandung”. Mas Kane selaku ketua saat itu mengiyakan, “nanti kalau TWKM di Tasik akan mampir”. Perjalanan saat itu bukan soal perjalanan operasional, tentang petualangan-petualangan menaklukan alam, tidak sebatas itu. Melebihi semuanya, kami jauh mengenal diri kami, mengenal saudara kami, mengenal sekitar kami. Bukan hanya alam yang memberi cerita baru pada kami, tapi orang-orang itu, mereka semua yang kami temui menambah cerita kami lebih berkesan dan bermakna

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *