Rinjani dan Lombok, Semai Rinduku Untuk Kembali Lagi
Berat rasanya meninggalkan Lombok yang penuh cerita. Saya masih ingin lebih lama lagi, namun apa daya saya tidak bisa.

Lombok i love you, manjakan aku dengan alammu
Lombok i love you, menyatu aku dengan pasir putihmu
Lombok i love you, semai rinduku untuk kembali lagi
(Amnetar – Lombok I Love You)
Pulau Lombok terlihat semakin mengecil, seturut saya yang semakin tinggi meninggalkannya. Sambil memandangi Pulau Lombok melalui jendela pesawat, lirik lagu Amnetar terus saya senandungkan di dalam hati. Saya ingat-ingat lagi setiap detil perjalanan yang saya tempuh di bumi sasak ini.
Barusan tadi, Bang Gaong (Ozan), Bang Gipo (Krisna), Ivan, dan Egi mengajak saya dan seorang teman ke alun-alun Praya. Disuguhinya seporsi ayam taliwang dan segelas nurdin (nutrisari dingin). Saat itu senja begitu indah, berat rasanya meninggalkan Lombok yang penuh cerita. Saya masih ingin lebih lama lagi, namun apa daya saya tidak bisa.
Selepas magrib saya kembali ke rumah Bang Gipo untuk mengambil tas, kali ini perpisahan harus dihadapi meski terasa berat. Tidak ada kata menyesal mengenal mereka, 4 sekawan yang begitu baik dan ramah, yang tidak pernah menganggap kami sebagai orang lain.
Tidak tampak raut wajah karena telah direpotkan, semuanya tulus. Diantarnya saya menuju bandara, jabat tangan terakhir segera menyudahi pertemuan kami sore itu. Menyudahi perjalanan penuh cerita di Pulau Lombok.
***
Perjalanan ini bermula ketika pagi itu ponsel saya berbunyi. Dari nadanya, saya tahu bahwa itu adalah pesan yang masuk ke aplikasi whatsapp. Ternyata memang benar dan pesan itu berasal dari Polin (Saudara saya di PALAWA) yang tanpa basa-basi mengajak saya untuk mendaki Gunung Rinjani.
Tidak lama kemudian, Aji (teman dari Mapagama UGM) –yang ternyata sedang bersama Polin– menyampaikan hal yang sama pada saya. Saya yang awalnya ragu, pada akhirnya mengiyakan juga ajakan mereka.
Di hari minggu pagi yang cerah saya berangkat seorang diri menuju Lombok. Polin dan Aji, yang akan menjadi partner pendakian saya, berangkat dari Surabaya dan baru tiba di Lombok pada sore hari.
Saya yang sampai lebih dulu segera menghubungi seorang saudara yang tinggal di Mataram untuk bersilaturahmi. Sesaat keluar dari bandara, tiba-tiba seorang pria muda menghampiri.
Mbak mau ke Rinjani?” tanya dia.
Ya,” jawab saya singkat.
Bisa gabung Mbak? Saya sendiri soalnya,” kata dia lagi.
Dengan tergesa-gesa, saya iyakan saja permintaannya. Lumayan bisa dapat teman baru, pikir saya.
Tak lama, saudara saya datang menjemput. Saya tinggalkan pria tadi. Saya pun melepas rindu dengan saudara saya ini, bercerita masa kecil kami di desa pesisir dulu. Diajaknya saya berkeliling singkat dan mencicipi ikan kuah kuning dan plecing kangkung khas Lombok kesukaannya. Tanpa terasa sore pun tiba, saya berpamitan untuk kembali menemui Polin dan Aji di bandara.
Sesampainya di bandara, ternyata saya masih harus menunggu. Sendiri, tidak ada teman. Saya langsung teringat pria muda tadi. Saya hubungi dia, namanya Alif, asalnya dari Solo. Dia memang seorang pendaki solo (sendiri).
Pukul 5 sore, Polin dan Aji tiba di bandara Lombok Praya. Saya dan Alif menyambut mereka di depan pintu bandara. Kami langsung berjabat tangan dan mencari spot untuk membongkar packingan dan beristirahat untuk perjalanan esok hari.
Alarm di hari pertama pendakian berbunyi tepat pukul 3.30. Kami bergegas bangun dan menunggu jemputan mobil sewaan menuju pos pendaftaran Sembalun. Sebelum sampai di Sembalun kami berhenti dulu di Pasar Aikmal untuk membeli kebutuhan konsumsi.
Akhirnya kami tiba di pos pendaftaran Sembalun. Dari kejauhan, gagahnya puncak Rinjani sudah terlihat. “Ah alangkah tingginya puncak itu,” gumam saya dalam hati.
Tarif pendakian bagi wisatawan lokal sebesar Rp 5.000/hari. Kami membayar Rp 20.000/orang untuk 4 hari pendakian. Beres registrasi dan packing ulang, sekitar pukul 9 kami mulai melakukan pendakian.
Saya nikmati perjalanan santai diiringi hamparan savana. Pos demi pos saya lewati. Setelah kurang lebih 7 jam perjalanan tibalah kami di pos 3, pos yang menjadi tempat bermalam kami. Kami mendirikan tenda, memasak dan bercengkrama dengan kawan dari tenda sebelah.
Kami semakin larut dalam obrolan santai. Rupanya 4 orang asli Lombok di tenda sebelah tersebut akan menjadi rekan pendakian kami selama di Rinjani. Pengalamannya yang sudah 6 kali mendaki Rinjani, membuat kami semakin tertarik mendengarkan cerita-ceritanya.
Mungkin karena lelah, sebelum pukul 10 malam saya sudah mulai mengantuk. Saya matikan headlamp dan menarik sleeping bag. Tak lupa memanjatkan doa penghantar tidur. Saya pun tertidur, menyiapkan tenaga untuk pendakian selanjutnya.
Pagi di hari kedua, tanpa malas, kami bergegas masak dan membongkar tenda. Perjalanan berikutnya menuju pos Plawangan Sembalun. Sekitar pukul 8 pagi kami sudah memulai perjalanan.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 6 jam kami tiba juga di Pos Plawangan Sembalun dan bergegas mendirikan tenda. Rasa lelah melewati bukit penyesalan cukup terbayar walaupun saat itu kabut masih menutupi danau dan baru terlihat jelas pada sore hari.
Pos Plawangan Sembalun adalah pos akhir untuk summit attack. Jarak pos ini dengan puncak kurang lebih dapat di tempuh 4 hingga 5 jam perjalanan. Untuk summit, kami merencanakan berangkat pukul 1 pagi. Maka istirahat dan tidur lebih awal dilakukan.
Pukul 1 pun tiba, kami yang bangun di pagi buta harus melawan rasa dingin dan kantuk demi menuju puncak. Saya, yang memang punya masalah di lambung, mulai merasakan mual-mual karena perut yang belum terisi.
Selain itu, mungkin saya terkena AMS atau Altitude Mountain Sickness karena kerap kali merasakan pusing dan mual-mual. Namun selama perjalanan menuju puncak ini saya menghiraukan semua keluhan tersebut.
Sampai setibanya di tanjakan terakhir menuju puncak, saya yang memang sangat mengantuk dan mulai lelah, memaksakan diri berjalan sambil tidur. Ditambah lagi medan berupa pasir membuat langkah saya selalu merosot dan jadi semakin lelah untuk melangkah.
Namun, Aji dan Polin tak hentinya menyemangati dan mendampingi hingga ke puncak. Matahari perlahan mulai terbit dengan semburat jingganya yang indah. Pemandangan dari ketinggian sudah mulai terlihat, namun kaki masih terasa berat menapaki pasir dan kerikil.
Semangat saya juga mulai mereda ketika para turis asing menyusul dengan mudahnya. Akhirnya, setelah pergulatan batin yang tidak mudah dilawan, saya, Aji, Polin, dan Alif tiba juga di puncak yang memiliki ketinggian 3.726 mdpl ini!
Rasa kesal, haru, dan lega jadi satu. Ingin menangis rasanya! Namun air mata saya tak bisa keluar karena malu dengan 3 orang partner pendakian saya itu.
Danau Segara Anak menyapa dari kejauhan. Ternyata dia begitu cantik dan anggun bila dipandang dari ketinggian. Perjuangan hari ini pun selesai dengan paripurna.
***
Setelah puas menikmati puncak dan berfoto-foto, kami kembali ke Plawangan Sembalun. Bergegas packing untuk melanjutkan perjalanan menuju bibir Danau Sagara Anak. Rasa lelah dan kantuk masih sangat terasa, namun kami semua ingin segera menyapa danau yang anggun ini dari dekat.
Danau segara anak yang terlihat dari kejauhan, saat itu belum terasa menyihir. Namun, nyatanya, ketika saya sampai dan melihatnya dari dekat, saya langsung terpana tak bisa berkata-kata.
Tenang dan penuh misteri, menyihir siapa saja untuk memintanya kembali. Saya langsung berseru dalam hati dan mengungkapkan kekaguman pada Dewi Anjani, sosok yang begitu melekat dengan Gunung Rinjani.
Belum puas memandangi, rintik gerimis pun turun. Saya yang terkena flu dan Aji yang kelelahan tidur lebih awal saat itu. Malam hari pun tiba, saya yang masih tertidur tidak sempat memasak untuk makan malam, namun Polin dan Alif berinisiatif memasak dan menjadi chef pada malam itu.
Setelah beres memasak, Polin membangunkan saya dan Aji untuk makan, seporsi nasi goreng hangat diberikannya kepada saya. Setelah selesai makan, saya kembali tidur.
Setengah terbangun, saya mendengar suara riuh orang mengobrol dengan seorang bule Perancis yang mampir di tenda sebelah. Entah mereka ngobrol sampai larut atau tidak, karena saya sudah kembali tertidur akibat efek obat flu.
Pagi di hari keempat, Aji mengajak berendam air hangat di dekat lokasi camp yang dapat ditempuh dengan 10 menit berjalan kaki. Sesampainya di lokasi air hangat saya bertemu kawan baru sehingga membuat lupa waktu
Polin dan Alif sudah menunggu kami, sekarang giliran saya dan Aji yang jaga tenda dan membuat sarapan sementara Polin dan Alif pergi memancing. Aji segera memasang hammouck di pinggir danau dan kami pun berbincang sambil menikmati pemandangan.
Tidak lama berbincang, Aji berkeliling mengambil foto dan melihat yang sedang mancing di pinggir danau. Tanpa terasa, semilir angin membuat saya tertidur. Saya yang terlelap sekejap, segera bangun karena angin yang berhembus cukup dingin sehingga saya memilih untuk pindah tidur di tenda. Saya pikir-pikir, banyak juga waktu yang saya habiskan dengan tidur.
Sorepun tiba. Kawan yang menjadi rekan sependakian mengajak kami untuk berendam lagi. Kali ini, bersama dengan kawan lainnya yang juga bertemu ketika mendaki. Ramai sekali
Berendam yang kedua kali ini membuat kami seperti menemukan keluarga baru. Entah kenapa kami merasa begitu akrab, padahal sebelumnya kami hanya berpapasan tanpa banyak bertukar cerita. Momen keakraban yang belum pernah saya temui sebelumnya, selama saya mendaki gunung dan bertemu orang baru.

Setelah berendam air hangat, perut yang kosong pun segera diisi. Setelah kenyang, kami segera istirahat, menyiapkan tenaga untuk turun esok harinya.
Pagi di hari ke 5 alarm pun berbunyi, membangunkan kami yang masih di alam mimpi. Kami semua bergegas packing dan sarapan terlebih dahulu. Sekitar pukul 8.30 pagi kami sudah siap melanjutkan perjalanan.
Kami turun melalui jalur Senaru. Jika jalur Sembalun menawarkan padang savana, jalur Senaru menawarkan pemandangan Danau Sagara anak serta hutannya yang gelap dan lebat.
Saat hampir tiba di pos Plawangan Senaru, kami semua tertahan karena ada yang sedang melakukan sembahyang. Ya, umat Hindu yang memuja Dewi Anjani dan menganggap suci Danau Segara Anak ini memang sering datang untuk melakukan ritual ibadahnya.
Saat itu memang bertepatan dengan perayaan Galungan (Hari raya Galungan dirayakan oleh umat Hindu setiap 6 bulan Bali (210 hari) yaitu pada hari Budha Kliwon Dungulan (Rabu Kliwon wuku Dungulan) sebagai hari kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan) (sumber: wikipedia)).
Umat Hindu yang datang ke Rinjani untuk sembahyang ini terdiri dari beragam usia, mulai dari anak muda, orang tua, hingga balita. Sayang sekali saya tidak bisa menyaksikan ritual “membersihkan danau suci” ini. Sangat ingin sebenarnya, namun perbekalan dan waktu yang sudah tidak bisa dikompromi lagi, membuat saya dengan berat hati terpaksa melewatkan hal langka yang jarang saya temui selama ini.
Perjalanan turun memakan waktu kurang lebih 7 hingga 8 jam perjalanan. Track dari danau hingga pos 3 berupa batu dan pasir. Setelah melewati pos 3, hutan gelap dan lebat menyambut kami. Tracknya sendiri sudah mulai enak dan agak landai, sehingga saya mulai bisa berlari.
Waktu semakin sore, kami yang kelaparan membuat indomie rebus terlebih dahulu di pos bayangan sebelum sampai di pos 1. Saya yang dari pagi belum mengisi perut tertarik mencoba indomie rebus yang ditumis. Sisa perbekalan dimasukkan semua, termasuk telur, sosis so nice, dan pilus garuda.
Setelah selesai makan dan packing peralatan masak, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju pos 1. Tidak lama berjalan, gapura yang bertuliskan “Selamat Datang di Jalur Pendakian Senaru” menyambut kami. Artinya, sedikit lagi kami sampai di Desa Senaru.
Setibanya di Senaru, Kami melanjutkan perjalanan untuk menemui 4-orang-penghuni-tenda-sebelah-di-camp-pertama. Keempat orang tersebut bernama Bang Gaong (Ozan), Bang Gipo (Krisna), Ivan, dan Egi. Mereka, sebelumnya, mempersilahkan kami untuk menumpang di rumah salah seorang dari mereka.
Sekitar pukul 7 malam mobil jemputan pun tiba, kerir disusun rapi agar menyisakan ruang untuk duduk. Perjalanan dari Senaru menuju Praya, rumah Bang Gipo yang akan kami singgahi, dapat ditempuh dengan 3 jam perjalanan.
Namun, karena ada kawan lain yang ikut, kami harus mengantarkan mereka terlebih dahulu sebelum ke Praya. Sekitar pukul 11 malam kami baru tiba di rumahnya Bang Gipo. Saya segera mandi untuk membersihkan diri agar bisa cepat beristirahat.
Sebelum tidur, kami disuguhi makan malam terlebih dahulu seperti nasi rames berbentuk kerucut yang dibungkus daun pisang. Setelah kenyang kami pun segera tidur untuk melepas lelah dan menyiapkan diri untuk kepulangan besok.
Sekitar pukul 8 pagi, Polin, saya, dan Aji sudah bangun terlebih dahulu. Disuguhi pisang goreng dan teh hangat oleh ibunya tuan rumah yang begitu ramah. Selain itu bapak dan pamannya juga ikut menemani kami mengobrol seputar perjalanan kami ke Rinjani dan destinasi wisata di Lombok.
Kami diajak berwisata ke pantai Selong Belanak. Tentu saja kami tidak menolak kesempatan itu. Setelah mandi dan sarapan kami semua pergi menuju pantai.
Sebelum menuju pantai, kami mampir terlebih dahulu di desa adat Sasak sekedar untuk membeli oleh-oleh dan mengetahui sedikit bagaimana adat istiadat orang Sasak.
Ada satu adat yang unik di sini, yaitu adanya istilah “kawin lari” sebelum sepasang pengantin resmi menjadi suami istri. Adat tersebut sudah dilakukan secara turun temurun dan menjadi budayadi semua wilayah Lombok.
Sudah cukup singgah di desa adat, perjalanan kami lanjutkan kembali. Waktu tempuh menuju pantai Selong Belanak cukup jauh, kami berunding kembali dengan Polin dan Aji yang sudah memesan tiket pulang pukul 5 sore.
Akhirnya, kami memutuskan untuk memindahkan destinasi wisata ke pantai terdekat, yaitu pantai Kuta Lombok. Saya yang sedang mencoba mengoleksi pasir pun dengan segera mencari botol bekas untuk diisi pasir pantai Kuta yang terkenal menyerupai merica itu.

Cukup lama kami menikmati pantai Kuta, sampai akhirnya waktu untuk pergi tiba juga. Polin dan Aji harus segera check in, mereka terburu-buru agar tidak terlambat dan sesegera mungkin sampai tepat waktu di bandara. Ya, disitulah perpisahan saya dengan dua orang partner pendakian ini…
Kemudian, seperti yang sudah saya ceritakan di awal, 4-sekawan-penghuni-tenda-sebelah-di-camp-pertama mengajak saya dan Alif ke alun-alun Praya. Disuguhinya seporsi ayam taliwang dan segelas nurdin (nutrisari dingin). Selepas magrib saya kembali ke rumah Bang Gipo untuk mengambil tas, lalu saya melihat pulau Lombok yang semakin mengecil seturut saya yang semakin tinggi.
Berat rasanya meninggalkan Lombok yang penuh cerita. Saya masih ingin lebih lama lagi, namun apa daya saya tidak bisa.
Rinjani dan Lombok, semai rinduku untuk kembali lagi…