Rasa Persaudaraan Dari Pegunungan Latimojong
Seseorang pernah berkata bahwa sesama pecinta alam itu bersaudara, dan di sini saya sungguh-sungguh merasakannya. Setiap orang memperlakukan orang lain seakan mereka sudah saling mengenal sebelumnya.

Siang itu ‘atap Sulawesi’ diserbu oleh ratusan orang yang menyebut diri mereka pecinta alam. Mereka datang dari berbagai penjuru Nusantara. Salah seorang teman dari pulau seberang mengatakan, Puncak Gunung Rantemario di Pegunungan Latimojong ini adalah pencapaiannya. Saya setuju, tapi berada di puncak tanpa bersama mereka (anggota tim 3 pendakian Puncak Rantemario TWKM 28), mungkin rasanya tak akan pernah sama.
Saya tak tahu bagaimana panitia Temu Wicara Kenal Medan (TWKM) 28 membagi tim pendakian dalam acara Kenal Medan Gunung Hutan ini, hingga saya pun bergabung dalam tim 3 dari 13 tim yang ada. Tim ini hanya beranggotakan sembilan orang, dua perempuan dan tujuh laki-laki, sementara tim lain masing-masing berisi sepuluh orang. Bagi saya, tim ini sudah lengkap dengan keunikan orangnya masing-masing.
Mari sekilas saya ceritakan tentang mereka…
Dalam tim ini ada Yudith, si akang Sunda yang selalu berbicara dengan logat campuran Makassar-Sunda. Katanya, seminggu di Makassar membuat logat bicaranya jadi seperti itu. Sepanjang pendakian ia selalu menggunakan sepatu lars. Saya suka teringat memori pendidikan dan latihan dasar dulu kalau melihat setelan pendakian dia.
Lalu, Adi si urang Sunda yang carrier-nya serupa kulkas tapi selalu wangi. Bagaimana tidak, sabunnya tumpah bahkan sebelum pendakian dimulai. Saya, Yudith, dan Adi terkadang mengobrol dalam bahasa Sunda hanya agar tak dapat dimengerti oleh yang lain. Selama pendakian mereka berdua tak pernah absen berjalan tepat di belakang saya. “Sebagai pengawalan,” katanya beralasan.
Kemudian ada Seba, si pejalan cepat asal Kolaka yang berinisiatif membawa aki dan lampu. Seba selalu berjalan paling depan, sehingga dia menjadi penyelamat kami dalam mem-booking lahan. Siapa sampai duluan, dia tidur paling nyaman. Begitulah kiranya yang terjadi di sana, setiap tim harus punya pejalan cepat agar dapat lahan tenda ternyaman. Untuk hal ini, Seba yang selalu menjadi andalan kami.
Yessy, Ketua Umum Mapala UMRAH Kepulauan Riau, adalah perempuan lain selain saya di tim ini. Selama di sana, perempuan dan laki-laki tidur di tenda yang berbeda sehingga Yessy selalu menjadi teman setenda saya selama lima hari pendakian. Lalu ada Bayu ‘si bungsu’, asli Makassar dan paling tahan dingin. Hal ini dibuktikannya dengan tidak menggunakan jaket dan tetap bersemangat mandi walau udara sedang dingin-dinginnya.
Aun si kakak tertua, yang sudah berpengalaman dalam pendakian, juga masuk ke dalam tim ini. Hampir setiap malam kami mendengarkan kisah calon sarjana ITS tersebut tentang gunung yang pernah didakinya. Katanya, ia hanya tinggal sidang akhir untuk mendapat gelar sarjana.
Ada lagi Anton, si brewok yang tak pernah lepas dari sorbannya. Saya baru tahu, pria asal Solo ini ternyata selalu membawa boneka sapi yang terus dipegangnya selama berada di puncak. Terakhir, sang ketua tim, namanya Pa’le. Nama itu didapatkannya karena saat pindah ke Kalimantan, logat Jawanya masih melekat erat.
Seorang teman mengatakan, setiap perjalanan pasti punya ceritanya, kalau tak dinikmati rasanya akan menjadi pahit. Sungguh, perjalanan ini terasa manis tanpa butuh gula. Saya tak pernah berpikir bisa sampai di titik tertinggi Pulau Sulawesi ini. Sebelumnya, saya membayangkan akan banyak hal buruk akan terjadi di sana. Tapi ternyata semuanya baik-baik saja, selain bahwa adanya sogokan miras (mie rebus dan beras) yang selalu datang setiap harinya.
Matahari masih bersembunyi dibalik awan, tapi kabut tak menunjukkan tanda akan datang. Ini waktu yang tepat untuk mengeluarkan kamera dan mengabadikan setiap momen yang ada. Saya adalah salah satu dari mereka yang tak pernah membiarkan kamera saya berhenti membunyikan suara ‘klik’. Triangulasi Puncak Rantemario menjadi spot favorit setiap orang yang tak boleh terlewatkan.
***
Malam sebelum pendakian dimulai, setiap orang menggelar barangnya masing-masing. Inilah pertama kalinya saya packing bersama tim ini. Dalam sekejap, tenda, spirtus, bahkan cooking set saya sudah berpindah tempat. Saya sempat bertanya-tanya, ternyata mereka tak membiarkan perempuan membawa bawaan berat.
Sebenarnya, bagi saya ini hal yang aneh. Palawa tidak pernah membedakan bawaan seseorang berdasarkan jenis kelaminnya. Saya selalu dididik untuk mandiri dan tidak menyusahkan. Namun, mereka sedikit memaksa. Katanya agar saya tak merasa berat saat pendakian.
Ok, baiklah, saya menyerah dan tak lagi memaksa. Lagipula saya pikir, kapan lagi bisa naik gunung dengan bawaan ringan seperti ini.
Kesan pertama yang sungguh baik. Ini yang membuat saya merasa bahwa mendaki bersama tim yang seperti ini akan membuat saya baik-baik saja. Tak hanya itu, setiap tim juga mendapatkan pembimbing. Tim kami dibimbing oleh Mas Joko. Bukan, itu bukan nama aslinya. Namanya Ecky, tetapi salah seorang dari kami pernah memergokinya mengumpat dalam bahasa Jawa. Tak ayal, nama Mas Joko pun sah melekat padanya.
Tak seperti pembimbing lain yang canggung -bahkan ada tim yang tak mengenal siapa pembimbingnya-, Mas Joko berbaur dengan kami selayaknya teman. Interaksi kami dengannya bukan seperti anak bimbingan dengan pembimbingnya. Ya, seperti teman satu tim saja. Tak ada jarak.
Mas Joko bilang bahwa pendakian ini merupakan pendakian pertamanya di Pegunungan Latimojong. Pegunungan Latimojong mempunyai titik tertinggi Gunung Ratemario yang tingginya mencapai 3478 mdpl. Pegunungan ini kaya akan sumber air. Tiga kecamatan di Kabupaten Enrekang menggantungkan hidupnya pada pegunungan ini.
Sebelum berangkat, saya sempat mencari tahu tentang pegunungan Latimojong. Salah satu hal yang unik dari bentang alamnya adalah hutan lumut. Awalnya saya pikir ini sih biasa saja. Setiap hutan kan memang ada lumutnya, terus apa bedanya?
Pertanyaan saya terjawab saat melihat hutan lumut secara langsung. Hutan dengan karakteristik yang katanya hanya ada di Sulawesi, Papua, dan Sumatera ini menyambut kedatangan kami. Bahkan saya rasa lebih tepat disebut menemani, karena nyatanya setengah perjalanan lebih kami melewati medan seperti ini.
Kata Aun, hutan seperti itu di Jawa hanya ada di Gunung Slamet. Namun, saya belum pernah ke sana sehingga saya sungguh excited memasuki hutan lumut untuk pertama kalinya. Lumut benar-benar memenuhi segala sisi hutan, dari pohon hingga ke tanahnya. Matahari masih terlihat dari celah-celah pohon yang menjulang, tetapi intensitas kabut yang tinggi menghalangi cahayanya.

Saya tak terlalu suka mendaki saat hujan, karena basah. Namun, walaupun hujan tak menampakkan dirinya, duduk di hutan lumut tetap membuat celana saya basah. ‘Tongkat ajaib’, sebuah kayu yang tangguh karena selalu menahan beban saya, tak pernah lepas dari pegangan. Walaupun saya sempat berpikir, jatuh di hutan lumut tak akan sakit karena tebalnya lumut yang ada.
Saya sempat bosan dengan basah karena lumut-lumut ini. Saya bertanya pada seorang teman, “kapan hutan ini akan berakhir?”
“Di puncak nanti habisnya,” jawabnya santai sambil berjalan melalui saya yang masih terduduk.
Di sini, matahari pun rasanya sudah seperti surga dunia. Latimojong, selayaknya pegunungan, terdiri dari beberapa puncakan. Otomatis jalannya naik-turun. Pada setiap puncaknya, jika tidak sedang hujan, matahari akan menyambutmu dan seakan mengatakan “Selamat, kamu sudah sampai di puncak ini. Tapi, masih ada puncak selanjutnya di depan!”
Jalan saya tak terlalu cepat, tapi juga tak lambat betul. Setiap menemukan matahari, saya memanfaatkannya untuk duduk, berharap bisa mengeringkan badan. “Tenang saja, puncaknya gak akan pindah kok,” ujar seseorang sambil lagi-lagi melewati saya yang sedang menikmati matahari.
Sampai saat ini saya tak tahu siapa orang itu, tetapi ucapannya sering saya ulang. Hanya untuk bisa menyemangati diri sendiri. “Ayo cil semangat, puncaknya udah keliatan tuh. Lumutnya udah mulai dikit kan, liat deh. Rantemario tuh cil!” ujar Yudith menyemangati saya yang mulai menurunkan gigi kecepatan.
Mendengarnya, saya tambah lagi kecepatan langkah kaki ini. Hingga ketika saya mencapai puncak yang disebutkan Yudith, saya mencari Triangulasi yang seingat saya harusnya ada di Puncak Rantemario. Mas Joko yang sudah lebih dahulu tiba menyadari kebingungan saya.
“Nyari apa cil?” ujarnya.
Tetapi dia hanya mendapat kebisuan dari saya.
“Hahaha… ini bukan Rantemario cil, ini puncak tepat sebelumnya. Triangulasinya udah keliatan kok, tuh liat di sana,” katanya sambil menunjuk sebuah puncak yang menjulang tepat di hadapan saya. Mata saya pun tak bisa beralih dari puncak itu.
“Kita akan ke situ mas?” tanya saya. Sebenarnya saya sudah tahu jawabannya. Tapi sungguh, saya hanya ingin bertanya.
“Iyek toh. Itu Puncak Rantemario. Kita akan lewat situ, tuh liat deh, di antara semua pepohonan hijau itu ada setitik warna oren kan? Itu leader-nya udah sampai situ cil,” tambah Mas Joko meyakinkan.
Saya menghela napas panjang hanya untuk menenangkan hati sendiri. Jika jam tangan Adi tak salah, saya sudah ada di ketinggian 3300 lebih sekian dan saya ternyata harus turun kembali untuk menggapai titik 3478 mdpl. “Ah, saya sudah tak ingin turun untuk naik lagi, tinggal 100 meter lagi kenapa mesti diperpanjang sih!” Rutuk saya dalam hati.
Tapi ya, namanya juga pegunungan, mau bagaimana lagi. Alih-alih langsung berjalan, saya memilih untuk menurunkan carrier dan mengeluarkan kamera untuk memperbaiki semangat sendiri. Klik! Satu dua gambar saya ambil.
Setelah itu saya pun melangkahkan kaki dengan sedikit gontai. Yudith masih menyemangati di belakang, sesekali dia menanyakan berbagai hal pada saya. Mungkin dia hanya ingin membuat saya bercerita agar kembali bersemangat. Hingga saya berhenti untuk duduk pada sebuah ‘bukaan’.
Dari sana saya bisa melihat puncak, yang dalam bahasa Jawa disebut puncak apus-apus atau puncak bayangan. Entah sebelumnya puncak itu punya nama atau tidak, tapi saya ingin memberinya nama.
“Mas Joko, itu orang yang lagi foto-foto itu puncak yang tadi?” tanya saya pada Mas Joko yang juga sedang mengistirahatkan dirinya.
“Iyek toh,” jawabnya singkat.
Entah karena apa, semangat saya kembali membuncah. Kalau saya tak salah tebak, saya sudah ada di tempat leader yang tadi saya lihat dari puncak bayangan. Saya merasa jalan ini sudah dekat dengan puncak.
Langit masih mendukung. Jangan sampai saya tiba di puncak ketika langit dan semesta tak lagi berkawan. Saya pun menempelkan carrier, mengencangkan bakel, dan menggengam erat tongkat ajaib sebagai tanda bahwa saya siap berjalan.
Saya percaya Tuhan telah memerintahkan semesta untuk menyambut kami di Puncak Rantemario. Puncak tertinggi Pulau Sulawesi itu seakan membentangkan tangan menyambut saya. Dengan tenaga yang seketika terisi penuh, dari pos terakhir, saya berlari menuju Triangulasinya.

Saya sungguh tak pernah membayangkan bahwa gunung tertinggi yang saya daki adalah Pegunungan Latimojong. Pegunungan yang terkenal dengan jalurnya yang sulit. Syukurlah, dengan kecepatan jalan saya, saya sampai puncak sebelum ramai.
Saya sampai bersama Yudith, Adi, Pa’le, dan Seba. Bunyi ‘klik’ ada di mana-mana, setiap orang memanggil orang lainnya untuk diajak berfoto bersama. Saya pun melakukan hal yang sama. Saya tak ingin orang-orang yang saya temui terlupa di ingatan saya yang berjangka pendek ini. Saya mengabadikan mereka dengan kamera saya. Walau hanya foto tanpa suara, ekspresi kami semua sungguh menggambarkan kebahagiaan.
***
Puncak sudah kami capai. Foto menjadi saksi bahwa kaki-kaki kami pernah menginjak atap Sulawesi. Bagi saya, perjalanan ini sungguh penuh arti. Hampir tak ada celah untuk tidak menikmati perjalanan ini.
Saya sempat takut akan susah akrab dengan orang-orang baru yang berasal dari seluruh Nusantara ini. Saya banyak takut sebab ini pertama kalinya saya bertemu dengan orang sebanyak itu. Tidak saling kenal, di tempat yang baru pertama kali saya datangi pula: Sulawesi.
Namun, ketakutan saya nyatanya tak beralasan. Seseorang pernah berkata bahwa sesama pecinta alam itu bersaudara, dan di sini saya sungguh-sungguh merasakannya. Setiap orang memperlakukan orang lain seakan mereka sudah saling mengenal sebelumnya. Mereka tak canggung bercerita tentang dirinya, bahkan mereka tak sungkan memberikan atau menukarkan barang-barangnya. “Untuk kenang-kenangan,” katanya.
Sayangnya, saya tak bisa menghabiskan waktu lebih lama di Makassar. Saya belum sempat melihat indahnya Toraja.
Raung, seorang teman dari Jakarta yang asli Toraja, mengirimkan beberapa fotonya pada saya. Ah, saya sungguh ingin ke sana. Tapi tak apa, saya pikir, dengan begitu saya tahu bahwa perjalanan saya ke Sulawesi selanjutnya sudah mempunyai target, yaitu menyambangi Toraja.
Latimojong dan Sulawesi telah mengantarkan saya pada perjalanan paling menyenangkan yang pernah saya alami sejauh ini. Suatu saat saya harus kembali lagi!