Menanti Fajar Tanpa Sendal
Malam ini Gunung Manglayang milik kami berempat. Kami para perantau yang dengan sengaja memilih tidak mudik. Bukan karena tidak ingin. Alasannya biarlah masing-masing kami saja yang tahu.

Gunung Manglayang masuk ke dalam tiga kabupaten kota, yaitu: Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Sumedang. Ada banyak jalur yang bisa ditempuh untuk sampai ke puncaknya. Dua yang paling populer adalah Jalur Batu Kuda di Cileunyi dan Jalur Baru Beureum di Jatinangor.
Malam ini Gunung Manglayang milik kami berempat. Tak ada pendaki lain yang naik.
Kami adalah sebagian kecil orang yang tidak terbawa hiruk-pikuk H-2 Lebaran. Kami para perantau yang dengan sengaja memilih tak mudik. Bukan karena tidak ingin. Alasannya biarlah masing-masing kami saja yang tahu.
Kalau mau dirunut, hubungan kami berempat adalah sebagai berikut. Aku Ronni saudara Rizky di Palawa. Rizky adalah teman Rudi sejak bertemu di Jogja. Rudi adalah sekelas Ando di SMP dulu di Siantar. Entah siapa dalang di balik semua ini. Sore tadi di sekretariat Palawa Unpad – aku, Rizky, Rudi, dan Ando – bertemu, berteman, dan berencana mendaki Gunung Manglayang malam ini.
“Asli. Dingin apara!”
“Dari kaki mu masuk dinginnya ya apara?”
“Iya apara. Dinginnya kayak nusuk-nusuk di kaki.”
“Semangatlah ya! Haha..”
Beberapa kali Ando mengeluhkan dinginnya tempat ini dan aku cuma bisa menyemangatinya. Di antara kami berempat, memang cuma dia yang sedang tidak menggunakan alas kaki. Ketahuilah. Dingin juga bisa merasuk lewat telapak kaki. Aku saksi matanya.
Di menit akhir sebelum berangkat dan meninggalkan sekretariat tadi, aku dan Rizky sempat menyadari ada yang kurang lazim pada bungkus kaki Ando dan Rudi. Ceritanya adalah karena pendakian ini yang bersifat dadakan, jadilah kami kurang menyarankan Ando dan Rudi menggunakan sepatu. Pinjaman sepatu kami mereka tolak. Mungkin Ando yang belum pernah naik gunung berpikir kalau sendal dan sepatu tidaklah banyak bedanya saat digunakan mendaki. Sementara Rudi mengaku akan tidak apa-apa dengan beralas sendal seperti itu ia mendaki. Sebenarnya bukan tidak mau dipinjami sepatu, kedua tamu ini hanya sangat tak ingin merepotkan kami. Yang bodoh adalah kami karena tidak mampu memaksanya.
Hasil dari kebodohan tak bersepatu itu segera kami terima tak jauh dari titik start. Ando terpeleset dan sendalnya putus. Ada negosiasi basa-basi setelah insiden itu memang. Hasilnya tentu saja perjalanan tetap kami lanjutkan. Ando pasrah untuk bertelanjang kaki seorang diri di tengah tim pendakian yang harusnya penuh kebersamaan ini. Apa boleh buat.
Dua jam perjalanan dari pos pendakian Baru Beureum, kami pun tiba di Puncak Bayangan, bukan puncak utama Gn. Manglayang. Tinggi puncak ini cuma 1600-an mdpl. Kalau puncak Gn. Manglayang tingginya 1818 mdpl. Kami sengaja menunggu pagi di sini. Sepengalaman ku, melihat pagi memang lebih baik di sini. Ando bilang kakinya baik-baik saja, tak ada cidera serius didapatnya. Kami senang mendengarnya.

Malam sedang cantik-cantiknya di Gunung Manglayang. Banyak bintang yang bergantung di atasnya. Ke bawah, kami bisa lihat gemerlap lampu kota. Kampus Unpad juga terlihat dari sini. Di sebelahnya ada Gunung Geulis yang berselimut kabut.
Dingin menyerang kami pelan-pelan. Api unggun kami nyalakan sebagai perlawanan. Sembari menjaga api, kami mengobrol, minum kopi dan makan roti. Pelan-pelan, Ando juga mulai gelisah dengan kondisi kakinya yang telanjang. Dia kedinginan. Getar tubuhnya terus ia tahan, sambil ikut meletakkan ranting-ranting kecil di atas nyala api. Sesekali ia berdiri melihat pagi yang belum jadi, berjongkok lagi, dan meneguk kopi. Mungkin ia bertanya dalam hati. ‘Mengapa malam bisa seindah ini, juga sedingin ini?’
“Ia apara, belum pernah aku naik gunung.”
“Kapok ga?”
“Ga lah”
Tanpa apa-apa di kakinya, Ando baik-baik saja. Aku, Rizky dan Rudi juga. Kami kuat menahan rindu untuk pulang ke kampung halaman. Menahan dingin sekejap ini, tentu bukan masalah untuk kami.
Malam masih panjang di Manglayang bahkan lebih panjang dari obrolan kami berempat. Kami berdiskusi tentang banyak perkara. Tentang Sendal, Sepatu, Negri ini dan lebih banyak hal lagi hingga aku lupa. Bukan agar dikira pintar atau peduli. Kami hanya sedang mengisi waktu menunggu pagi.

*‘Apara’ adalah panggilan antar pria dalam adat batak, digunakan untuk memanggil pria sebaya yang bermarga sama.