CatatanCatatan Perjalanan Tebing

Makhluk Manis Camp 21


“Elisabeth…”, gadis itu akhirnya memperkenalkan diri sambil menjulurkan tangan.


Oleh : Bayu Bharuna

SUASANA di Camp 21 persis  seperti suasana habitat koboy yang sering dilihat di film-film western. Semua bangunan di Camp 21 merupakan bangunan setengah jadi yang seluruh bahannya terbuat dari kayu. Orang-orang duduk di beranda, yang membedakan adalah tidak adanya kuda, yang ada adalah desing mesin-mesin truk pengangkut kayu (entah apakah kayu yang diangkut itu legal atau illegal).

Dinamakan Camp 21 dikarenakan jarak tempuhnya dari desa terakhir sepanjang 21 km. Perjalanan menuju Camp 21 ini masih merupakan jalanan tanah merah yang membuat debu sangat tebal saat dilalui. Terlebih di saat ini yang merupakan musim kemarau. Mas Oktavian dan tiga orang rekan seperjuangan yaitu Eris, Rahwa, dan Bonk diantar dengan dua jip milik perkebunan menuju Camp 21. Tempat ini adalah ‘peradaban’ terakhir yang mereka capai sebelum menuju kaki tebing Bukit Daya untuk melakukan pemanjatan.

Mas serasa menjadi koboy beneran di sini karena keadaan lain sungguh tak ada bedanya dengan yang ada di film koboy. Ia merasa menjadi pemeran utama dalam film  bertemakan wild wild west di mana rumah-rumah masih terbuat dari kayu, debu yang beterbangan sangat tebal, dan orang-orang yang nongkrong di beranda rumah. Kondisi kabut asap yang masih menyelimuti areal Camp 21 menambah suasana dramatis kala itu. Jarak pandang hanya beberapa ratus meter saja. Namun syukurlah di sore hari hujan rintik-rintik sempat membasahi area ini kurang dari 30 menit sehingga sekilas Mas dapat melihat bukit batu yang menjadi tujuan mereka.

Tak tersedia air yang melimpah di sini untuk membersihkan badan sehingga mereka membersihkan diri dengan air seadanya. Setelah merasa segar mereka pun duduk-duduk di beranda rumah ditemani kopi racikan Eris. Teman seangkatannya ini memang terkenal dengan talenta memasaknya sehingga dengan bahan seadanya untuk meracik makanan dia bisa membuat yang lain menambah makan sampai berkali-kali.

Mereka pun  terlibat bincang-bincang yang seru sambil sedikit berbisik-bisik di beranda meng-gosipkan sekretaris perkebunan ini yang agak bahenol dan melihat orang-orang yang baru pulang kerja dari ladang perkebunan.

Gadis sekretaris itu cara berbicaranya sangat manja dan seolah-olah sedang melakukan tebar pesona terhadap mereka. Mas tidak tahu entah apakah ia  saja yang kegeeran atau semuanya merasakan seperti itu,  karena walaupun mereka berempat berpenampilan sedikit sangar namun termasuk pemula dan pemalu terhadap mahluk Tuhan yang namanya wanita. Dari sekumpulan rombongan yang datang dari perkebunan terlihat satu rombongan yang agak berbeda dari yang lainnya, ada satu gadis yang berambut panjang yang seperti mutiara di tengah hutan.

Edun… aya nu geulis euy,” celetuk si Eris.

Masing-masing pun pasang aksi tak mau mati gaya di depan mahkluk manis ini. Terutama Eris yang terkenal agak berani sebagai pembuka (padahal setelah pembukan untuk processing dan finishing touch selanjutnya sama saja dengannya alias tidak ada keberanian).

“Suit… suit… suit… gadis…” kata Eris bersuit dan memanggil ke arah gadis rambut panjang lurus tersebut.

Tak disangka tak dinyana gadis manis tersebut datang menghampiri kami.  Gila… situasi menjadi tak karuan bak kapal pecah di tengah samudra luas. Hanya satu kata yaitu : panik, itulah kondisi di antara mereka pada saat itu. Selama beberapa tahun mereka dilatih, dilatih, dan ditempa untuk menyadari bahwa salah satu kunci dari kegiatan di alam bebas adalah tidak panik dan tetap tenang, namun ketika menghadapi makhluk Tuhan yang satu ini jurus supaya tidak panik itu susah untuk diaplikasikan.

Akhirnya gadis itu menghampiri dan sampai di tempat mereka. Suasana menjadi senyap dan kikuk. Mas merasakan beberapa butir peluh di dahinya.

“Elisabeth…”, gadis itu akhirnya memperkenalkan diri sambil menjulurkan tangan.

”Aku tinggal disebelah,” katanya sambil dia menunjuk lokasi tinggalnya yang persis di sebelah tempat nginap yang ditempati mereka. Hanya dipisahkan oleh jalan selebar tiga meter.

Mereka berempat mau tak mau tak bisa beranjak dan dengan berkeringat dingin memperkenalkan diri masing-masing sebagai mahasiswa yang akan melakukan pemanjatan ke Bukit Daya.

“E.ee. Eris…” dengan susah payah dan terbata-bata Eris memperkenalkan dirinya masih dengan wajah sedikit pucat.

Mas merasa yakin gadis itu tahu persis kekikukan yang dialami oleh mereka berempat. Seolah menantang mereka atau merasa di atas angin, setelah itu Elisabeth mengajak mereka berempat untuk main ke tempatnya. Hampir serempak mereka menjawab masih ada beberapa yang harus diselesaikan. Namun sebenarnya karena tidak adanya keberanian dari mereka untuk menindak-lanjuti ajakan gadis tersebut. Rasanya lebih berani meladeni tebing Batu Daya yang menjulang daripada menghadapi seorang gadis.

 

PS: Terima kasih kepada Saudaraku Mas Oktavian yang telah menceritakan kembali secuplik kisah perjalanan ekspedisi pemanjatan tebing Batu Daya sehingga bisa direkonstruksi menjadi cerita tercatat ini.  Ekspedisi Bukit Daya berlangsung pada bulan September 1997 di masa kepengurusan Dewan Pengurus XIII. Empat orang pemanjat yang berangkat yaitu Bonny Hadi, Eris Kris, Mas Oktavian, dan Rahwa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *