Mabim Caving Nawa Ayaskara
Perjalanan itu bersifat pribadi. Meski saya berjalan bersama kalian, namun perjalanan kalian tetaplah milik kalian. Begitu pula catatan perjalanan ini, sama sekali tidak mewakili….
Oleh : Mirza Ahmadhevicko
I
Awal April yang lalu saya kembali bermain. Saya dan beberapa anggota Palawa Unpad lainnya mendatangi dua buah titik di perbukitan karst dusun Biru, desa Wakap, kecamatan Bantarkalong, Tasikmalaya. Kami akan kembali menelusuri dua buah gua yang berada di sana. Kali ini saya ikut mengantarkan tim Mabim Caving angkatan terbaru: Nawa Ayaskara.
Sore hari Jumat, 1 April 2016 sekitar pukul setengah enam sore kami mulai membuat lingkaran di halaman sekretariat, berdoa bersama untuk kelancaran kegiatan dan keselamatan seluruh anggota tim yang akan segera berangkat menuju lokasi latihan. Tim kami sejumlah sepuluh orang, terdiri dari Polin, Kimul, Muni, Syarif, Sarah, Mimi, Yandi, Farah, dan Erika. Perjalanan menuju dusun Biru bukanlah perjalanan singkat, lebih dari 130 km terbentang jarak yang harus kami tempuh, dan sebelum tiba di sana kami terlebih dahulu harus bermalam di kota Tasikmalaya. Kami akan menumpang bermalam di kediaman Kang Eris SH; dan baru keesokan harinya, pada pagi hari Sabtu, 2 April 2016, kami akan bergerak mendekati dusun Biru di mana Gua Cukang Tanah dan Gua Batu Badag berada. Dua buah gua itulah yang akan menjadi lokasi latihan kami selama beberapa hari ke depan.
Bergerak dari sekretariat, kami berjalan kaki dengan memanggul semua peralatan dan perbekalan dalam ransel-ransel ukuran besar. Di depan gerbang kampus Unpad kami menyewa angkot yang mengantarkan kami sampai ke Dangdeur –-tempat bus Primajasa jurusan Tasikmalaya melintas. Mendung yang sudah menggantung tebal sejak selepas Asar mulai berubah menjadi rintik hujan yang jatuh diam-diam ketika kami menunggu bus. Senja yang kelabu berubah menjadi malam yang mulai menghitam. Lalu-lintas ramai dan bunyi klakson saling bersahutan bagai meningkahi rintik yang mulai membesar saat kami sudah duduk nyaman di dalam bus. Saya mengingat kecelakaan gua yang diakibatkan oleh banjir. Hujan bagi seorang penelusur gua merupakan momok yang harus mendapat perhatian serius. Para penelusur gua seharusnya mengingat selalu pemeo klasik “sedia payung sebelum mendung”.
Hujan masih terus membasahi bumi, dari balik jendela bus terlihat binar lampu warung dan perumahan yang berkilau mengkristal. Jarak panjang Cileunyi – Tasikmalaya memakan waktu hampir tiga jam. Kami turun dan semua perbekalan dikeluarkan dari bagasi bus dan baru beberapa saat kemudian salah seorang dari kami tersadar betapa seharusnya kami tidak perlu turun di depan terminal Tasikmalaya melainkan terus ikut bus sampai ke sebuah pertigaan tempat di mana kami akan menumpang atau menyewa angkot yang bisa mengantarkan kami sampai ke Padayungan –-daerah lokasi rumah Kang Eris. Sedikit kekeliruan tersebut harus kami bayar dengan berjalan kaki sekira 30 menitan. Beruntung di tengah perjalanan sebuah mobil bak berbaik hati mau mengantarkan kami dengan cuma-cuma ke tujuan: Padayungan.
Sudah lebih dari pukul sepuluh malam saat pintu rumah Kang Eris kami ketuk perlahan. Dengan segenap perasaan sungkan kami kembali bermalamdi rumah Kang Eris. Saat itu Kang Eris belum kembali dari Cirebon. Saat kami hubungi ia masih berada di tengah perjalanan dan mempersilahkan kami untuk beristirahat atau langsung tidur. Namun bagaimana mungkin kami begitu saja dapat tidur dan memang nyatanya kami menunggu kedatangan Kang Eris. Sudah lewat tengah malam dan sedikit obrolan membuat kami sedikit melupakan jam, bagai terbuai dengan segala keasyikan perbincangan dengan senior Palawa Unpad yang satu ini. Banyak pengalaman caving dan bermain di ketinggian yang dibagikan oleh Kang Eris kepada kami. Tak terasa jam menunjukkan hampir setengah tiga pagi.
II
2 April 2016. Azan Subuh belum terdengar ketika sebagian dari kami mulai bangkit dari tidur dan bergerak di dapur. Menu pagi ini adalah nasi goreng yang dalam prosesnya ternyata mengalami sedikit masalah sehingga sarapan pagi kami lebih menyerupai bubur goreng daripada nasi goreng. Entah karena ingin menghormati para pemasaknya atau memang karena lapar sehingga apapun akan terasa enak di mulut, akhirnya sepiring yang dijatahkan habis terlumat mengisi perut kami semua. Menjelang setengah enam pagi kami mulai berpamitan dengan ibunda Kang Eris –-adapun Kang Eris sendiri belum tampak, mungkin masih tidur. Baru saat kami semua telah tiba di simpang jalan Padayungan, Kang Eris menyusul kami. Rupanya benar, ia masih ketiduran, terlambat bangun. Kami maklum, bukankah kemarin ia baru saja menempuh jarak jauh Cirebon Tasikmalaya? Akhirnya, setelah melewati fase negosiasi harga dengan bantuan Kang Eris, pagi itu kami semua melanjutkan perjalanan menuju desa Wakap. Dari Padayungan, lokasi yang kami tuju masih memakan waktu sekitar tiga jam menggunakan Elf.
Elf merupakan satu-satunya kendaraan umum yang dapat digunakan oleh kita yang ingin mendatangi dusun Biru. Selepas jalan utama, mobil meliuk-liuk menelusuri jalan aspal dengan banyak lubang sehingga seluruh penumpang di dalam akan terguncang-guncang dan saya didera rasa kuatir pada kekuatan tambang yang mengikat ransel dan seluruh barang bawaan kami yang memenuhi bagian atap Elf. Beberapa orang yang mencoba melanjutkan tidur yang terputus terpaksa harus rela menahan geram karena kepalanya hampir selalu terbentur-bentur kaca jendela. Dan menjelang pukul sembilan, sampailah kami di depan Warung Bu Enung, tidak jauh dari gapura yang menandai lokasi tujuan kami: dusun Biru.
Tidak lama kemudian, setelah sejenak bertegur sapa dengan sang pemilik warung, suami istri yang telah begitu baik dan selalu membantu kami setiap kali kunjungan ke dusun Biru, segeralah kami bergegas menelusuri setapak mendaki, menurun, dan menurun. Kebun dan rumah penduduk, sungai kecil dan sebentang luas sawah, sekira dua puluh menit sebelum sampai di lokasi yang akan kami jadikan basecamp: sebidang tanah datar dengan rimbun pepohonan di sekelilingnya dan berada tidak jauh dari Gua Cukang Tanah. Sesuai dengan pembagian tugas yang telah disiapkan, semua bergerak sesuai dengan tugasnya masing-masing. Para pembimbing pun turut serta menyiapkan segala sesuatunnya sehingga jadwal yang sudah disusun dapat terlaksana tanpa harus mengalami kemoloran.Tenda dibangun, flysheet dibentang, peralatan dikeluarkan dan disusun serta dikelompokkan berdasarkan kebutuhan atau penggunaan. Yang tidak kalah penting namun sering diabaikan adalah perihal perizinan.Sebagian dari kami harus mendatangi rumah Pak RT. Farah dan Syarif bergerak mengunjungi rumah Pak RT. Tidak lama mereka yang mengurus perizinan ke rumah Pak RT pun kembali. Farah membawa cerita betapa dirinya yang belum menguasai bahasa Sunda terpaksa banyak diam dan hanya senyam-senyum sepanjang obrolan dengan Pak RT. Beruntung dia didampingi oleh Syarif, salah seorang senior yang bertugas membimbing tim Mabim Caving tahun ini.
Agenda siang hari ini, setelah mengisi perut tentu saja, adalah menelusuri dan sekaligus memetakan Gua Cukang Tanah, terutama bagian lorong horizontalnya. Anak-anak peserta Mabim terlihat sigap. Hal itu membuat para pembimbing bertambah semangat. Mereka yang bertugas menjadi shooter dan stasioner melakukan kalibrasi. Saya dengar teknik pemetaan bottom to top akan mereka praktikkan. Siang itu saya bertugas menunggu di permukaan alias tidak ikut penelusuran.
Gua Cukang Tanah memliki lubang mulut yang relatif lebar dan bentuknya memanjang. Beberapa bagiannya memerlukan teknik SRT untuk memasukinya, namun pada beberapa titik lainnya lubang mulut gua dapat diakses tanpa menggunakan SRT, cukup dengan sedikit scrambling karena bidang dindingnya agak melandai. Titik dasar lubang gua masih menerima siraman matahari sehingga banyak pepohonan yang tumbuh di dasar gua. Sedikit bergeser, penelusur akan bertemu mulut lorong gua dengan cahaya yang semakin meredup.
Sejak beberapa angkatan terakhir, Palawa Unpad kerap kali menggunakan Gua Cukang Tanah sebagai lokasi Mabim, bahkan pada suatu waktu peserta Mabim pernah mengalami peristiwa yang mengejutkan yaitu mengalami gempa bumi ketika sedang menelusuri Gua Cukang Tanah. Jaya Dwi Siregar, yang saat itu bertugas sebagai pembimbing Mabim pernah menceritakan kejadian mencekam tersebut. Saya yang mendengarkan cerita tersebut ikut merasa tegang. Pernahkah kita membayangkan mengalami gempa bumi saat sedang berada di dalam sebuah gua? Mungkin kita akan teringat kisah mashyur Ashabul Kahfi. Meski telah mengalami peristiwa “istimewa” tersebut, Jaya Siregar dan para peserta Mabim Caving tahun itu tidak menjadi kapok dan jera hingga memutuskan untuk berhenti menelusuri gua, nyatanya mereka justru menggagas sebuah ekspedisi penelusuran gua berukuran raksasa di Republik Demokrasi Rakyat Laos. Subhanallah!
Saya dan Syarif bertugas menjadi tim “atas” –artinya kami tidak ikut turun dan masuk ke dalam gua. Di atas kami bertugas menyiapkan segala sesuatu dan menginformasikan jika terjadi suatu kondisi darurat. Pada kenyataannya kami lebih terlihat bersantai-santai saja: memasak air, menyeduh teh dan kopi, serta menikmati beberapa kudapan yang sudah dijatahkan.
Mereka mulai memasuki gua. Mimi berada di depan sebagai pemimpin penelusuran, dan segulung tali statik diurai dan digunakan sebagai pengaman saat scrambling ke dasar gua yang masih mendapatkan cahaya matahari siang. Di Gua Cukang Tanah ini berbagai teknik penelusuran gua horizontal dipraktikkan. Tidak hanya berjalan tegak, mereka juga harus membungkuk, berjalan kodok, merangkak, merayap, dan bahkan melata di lantai gua. Kelenturan tubuh penelusur gua, selain stamina yang prima, sangatlah diperlukan dan mendukung lancarnya penelusuran lorong gua horizontal. Melangkahkan kaki di dalam gua harus selalu dilakukan dengan hati-hati dan penuh pertimbangan. Setiap gerakan harus mempertimbangkan kemungkinan dampak yang ditimbulkan. Berbagai ornamen yang tumbuh dan terbentuk di dalam gua seringkali dalam kondisi yang rapuh dan rentan sehingga kelangsungan atas keberadaannya sangat ditentukan oleh sikap dan perlakukan penelusur gua. Mereka yang ceroboh dan grabak-grubuk sebaiknya mendapat bimbingan dari seseorang yang sabar dan teliti sehingga tidak sampai membuat kerusakan di dalam gua. Ya, sebisa-bisanya penelusur gua bersikap hati-hati dan bijaksana. Sudah menjadi kelaziman bahwa penelusur gua tidak hanya perhatian dengan keselamatan diri dan timnya sendiri melainkan juga harus perhatian terhadap keselamatan gua dan segala kehidupan yang ada di dalam gua. Dua hal tersebut lazim dikenal dengan perspektif antroposentrisme dan speleosentrisme. Keseimbangan keduanya sebaiknya diupayakan oleh kita. Jika kita sudah mampu bersikap hati-hati dan merasa sayang pada kelestarian keindahan pemandangan bawah tanah biasanya kita pun akan merasa jengah melihat praktik usaha pertambangan batugamping –-suatu praktik pengerusakan yang jauh lebih ekstrem, masif, dan nyata.
Gua Cukang Tanah menjadi aliran sungai permukaan yang masuk ke bawah permukaan. Jika sedang hujan, beberapa bagian di sekitar lubang mulut gua akan terbentuk satu atau beberapa air terjun dengan ukuran yang berbeda-beda. Berbagai ornamen gua, seperti stalagtit dan stalagmitdan gourdam dan gordyin maupun berbagai jenis flowstone lainnya terdapat di dalamnya. Pada lantai terdapat sedimen kerakal-kerikil, pasir, dan lumpur. Pada beberapa bagian penelusur juga akan melihat lantai yang ditumpuki guano sebagai tanda bahwa gua tersebut menjadi tempat tinggal kelelawar. Meski tinggal di dalam gua bukan berarti kelelawar-kelelawar di sini tidak berkegiatan di luar. Justru karena aktivitas bolak-balik antara dalam dan luar itulah sehingga keberadaan kelelawar memiliki peran yang meluas. Banyak manfaat yang dilahirkan oleh para kelelawar selama mereka bergerak di luar gua. Di pikiran saya melintas gambaran-gambaran yang menyarankan betapa secara ringkas dapat dikatakan bahwasanya kelestarian karst, kelestarian gua-guanya, kelestarian kelelawar dan fauna lainnya juga floranya, kelestarian hidup kemanusiaan senyatanya saling berkaitan, berjalin kelindan, itulah kompleksitas kelestarian alam yang menjadi mutlak untuk jalan keluar. Belajar dari kelelawar.
Di Gua Cukang Tanah anak-anak Mabim akan mempraktikkan teknik pemetaan gua. Mereka akan melakukan pengukuran lebar dan panjang lorong, tinggi atap, kemiringan, dan deskripsi kondisi gua. Untuk melakukan semua itu mereka dibekali beberapa peralatan, di antaranya pita ukur dan atau laser disto, kompas dan klinometer, juga lembar kertas kerja yang sudah dibuat kolom-kolom tabel dan biasanya menggunakan bahan yang tahan air, sebangsa kalkir dan kodaktris. Pada penelusuran ini anak-anak Mabim tidak hanya belajar memetakan lorong tetapi juga aula gua (chamber) dengan berbagai teknik yang telah diajarkan di sesi kelas.
Di basecamp, kami kedatangan tamu. Seorang lelaki penduduk setempat. Namanya Pak Topa, begitu kemudian kami memanggilnya. Wajahnya seperti tidak asing, saya seperti pernah bertemu sebelumnya. Sedikit mengingat-ingat sebelum akhirnya teringat. Ya, dia Pak Topa. Pada kedatangan saya yang pertama, beberapa tahun yang lalu, Pak Topa menjabat sebagai ketua RT. Saat ini ia mengenalkan dirinya sebagai ketua RW. Banyak cerita yang tersampaikan olehnya kepada kami. Syarif menyeduhkan secangkir kopi ABC susu untuknya dan untuk kami sambil terus mengajaknya bercakap-cakap dari satu hal ke hal lainnya. Asap kretek membumbung. Jam tiga sore langit berubah menjadi teduh dan suara Guntur bergemuruh di langit. Saya dan Syarif masih bercakap-cakap bersama Pak RW Topa (43). Melalui obrolan kami menjadi tahu bahwa dia memiliki tiga orang anak, si sulung sudah seumuran Syarif, menjelang 20 tahun, dan saat ini sedang bekerja di Jakarta kota. Rumah Pak Topa sering dijadikan basecamp oleh para caver yang akan caving ke Cukang Tanah, Batu Badag, Ciguha, dan Cisarongge. Dia sendiri baru sekali masuk ke dalam gua, yaitu ke Cukang Tanah. Dia mengatakan harapannya bisa masuk gua bersama Palawa suatu saat nanti. Pak Topa juga menyebut-nyebut nama salah seorang tetangganya, Memed namanya. Menurut cerita Pak Topa, Memed adalah seorang pemberani yang sudah sering masuk Gua Batu Badag meski hanya dengan bambu yang disambung tiga. Sekira 60-an meter kedalaman Gua Batu Badag, menurut Pak Topa. Menurut hitungan kami, kedalaman Gua Batu Badag tidak lebih dari 50 meter. Dia juga bercerita pengalamannya bersama aparat desa saat mencoba menjelajahi Gua Cukang Tanah. Menurutnya di dalam gua indah sekali pemandangannya. Sayang ia tidak berani terlalu jauh ke dalam waktu itu.
Sore sesaat sebelum mengumpulkan dedaunan dan rumput untuk pakan kambing, Pak Topa bercakap sambil ngopi bersama kami di basecamp Cukang Tanah. Ngobrol banyak hal. Ia mengisap tembakau mole bagai kepala kereta yg takhenti menyemburkan asap pembakaran. Aromanya wangi. Ia mengundang kami bermalam di rumahnya. Jam tiga langit teduh, mendung menggantung dan semilir angin terasa dingin. Sebentar lagi mungkin hujan akan turun. Di basecamp kami masih ngobrol dan ngopi, asyik sekali sore ini.
Penelusuran gua pada hari pertama ini selesai menjelang Maghrib. Kegiatan dihentikan meski belum semua lorong berhasil dipetakan. Hal tersebut terpaksa harus dilakukan karena malam hari akan kami gunakan sebagai waktu evaluasi kegiatan sesi pertama dan istirahat agar besok badan dapat kembali bugar dan keletihan telah berganti dengan kondisi prima. Gerimis sudah berhenti. Di basecamp, sebuah perapian kecil telah menyala berkat usaha Polin yang berinisiatif keluar dari gua lebih dahulu. Nasi dan lauk-pauk serta sayur segera disiapkan. Sebagian besar sudah matang, sudah siap dimakan. Suara serangga malam mulai menyajikan suara-suaranya yang khas, menyerupai orkestra sehingga seolah kami berada di tengah chamber ruang pertunjukan yang begitu besar. Selain perapian, tiga batang lilin, dan beberapa senter kepala tidak ada lagi sesuatu yang bercahaya, sehingga selain wilayah sekitar basecamp, semua hanyalah hitam belaka.
Beberapa hal mendapat perhatian dalam sesi evaluasi malam. Beberapa peralatan yang tertinggal di sekretariat, misalnya sepasang sepatu bot yang akan digunakan Erika dan baligo yang sedianya akan digunakan sebagai alas duduk merupakan dua barang di antaranya. Perihal batere cadangan untuk alat-alat pendokumentasian juga cukup serius menjadi pembahasan, selain soal air minum bagi seluruh anggota tim. Solusi yang diambil untuk dua hal terakhir adalah: sebagian anggota tim turun naik ke permukiman warga dan minta tolong menumpang mengisi ulang (charge) batere dan selanjutnya, sekalian jalan, mendatangi warung untuk membeli beberapa liter air mineral dalam kemasan. Evaluasi selesai saat menjelang tengah malam. Di langit rembulan bersinar terang dan juga banyak bintang bertaburan. Sebelum dilumat lelap, kami berharap hujan tidak turun malam itu.
III
Sebelum azan Subuh berkumandang, saya bergerak menemani Farah dan Sarah yang bertugas mendatangi rumah penduduk pagi itu. Tugas mereka yaitu: (1) mengisi batere kamera dan (2) membeli air mineral. Di perjalanan, udara menusuk sweater, sejuk cenderung dingin.
Rumah Pak RT yang kami datangi masih gelap. Beruntung, setelah dua-tiga kali beruluk salam, salah seorang tetangga Pak RT memberi tahu bahwa istri Pak RT sedang sakit, jadi kemungkinan masih tidur. Kepadanya kami menyampaikan maksud kedatangan kami di pagi buta itu. Segera saja maksud kami disambut. Sarah dan Farah bergerak masuk rumah dan langsung menuju lokasi saklar listrik berada. Rupanya Bu RT bangun, mungkin setelah terganggu oleh pembicaraan kami. Dia langsung memberi izin. Batere yang sudah tercolok listrik kami tinggalkan di rumah Pak RT, kami segera bergerak menyelesaikan tugas kedua, yaitu membeli air mineral. Beberapa warung yang letaknya berdekatan dengan rumah Pak RT masih tutup, salah satunya akhirnya membuka pintu dan mengatakan mereka tidak menjual air mineral. Tiada pilihan lain, kami harus mendatangi Warung Bu Enung. Meski lokasinya lumayan jauh jarak tersebut tetap kami tempuh. Di langit rembulan masih bersinar terang.
Suasana sudah terang tanah ketika kami bertiga kembali membawa semua yang telah disepakati semalam. Yandi terlihat sedang disibukkan dengan peralatan penelusuran gua vertikal. Kabut masih mengambang di lembah-lembah, suasana yang terlihat indah dilihat dari basecamp. Seusai makan, segera tim melakukan persiapan-persiapan akhir sebelum memulai kegiatan. Hari ini, 3 April 2016, kami akan menelusuri Gua Batu Badag, gua kedua atau gua terakhir dalam perjalanan kali ini. Tidak lama, saya melihat semua sudah siap berkegiatan. Baju overal dan peralatan SRT sudah melekat di masing-masing anggota tim. Kali ini tidak semua akan ikut melakukan eksplorasi. Tim hari kedua ini terdiri dari Yandi, Mimi, dan Farah dengan pembimbing Syarif dan Polin, sedangkan saya akan bertugas berjaga di bibir gua. Adapun Sarah dan Erika bertugas melakukan pengolahan data pemetaan di basecamp dengan dibimbing oleh Kimul dan Muni.
Lokasi mulut Gua Batu Badag agak jauh dari basecamp. Kami harus berjalan sedikit dan mendaki satu dua bukit sebelum tiba di bibirnya. Jalan setapak menuju mulut gua belum banyak berubah bahkan seolah sama persis seperti tahun kemarin saat saya ikut menemani tim Mabim Caving angkatan BP (2015). Kali ini Yandi yang bertugas menjadi pemasang lintasan (rigging man). Mulanya saya masih melihat langkah yang canggung hingga kemudian seiring waktu dia mulai terbiasa dengan ketegangan yang menyertai tugas yang diemban olehnya. Mimi dan Farah menasisteni dan membantu agar lintasan dapat terpasang lebih cepat. Sebelum memulai rigging dan descending masing-masing mereka saling memeriksa susunan peralatan yang terpasang di tubuh saudara-saudaranya. Tindakan saling memeriksa itu sudah menjadi prosedur tetap di dalam penelusuran gua.
Sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah, Yandi mulai menuruni mulut gua yang terlihat gelap. Kabut yang tertimpa cahaya mentari pagi menciptakan birai cahaya yang elok dipandang mata. Polin beberapa kali memberi aba-aba dan peringatan kepada Yandi yang sudah semakin dalam menuruni sumuran. Di permukaan, Farah bersiap menjadi penelusur kedua. Baginya ini adalah pengalaman pertama. Diam-diam saya berharap dia tidak panik saat mengalami kendala. Saya sama sekali tidak pernah melihat proses latihan angkatan ini sehingga tidak mampu mengukur ataupun sekadar menduga-duga kesiapan masing-masing mereka. Meski demikian saya percaya dengan Polin dan pembimbing lainnya, setidaknya Muni, Kimul, dan Syarif yang saya asumsikan cukup intensif mengikuti perkembangan anak-anak Mabim sejak awal sampai sekarang –-sampai di sesi lapangan.
Gua Batu Badag memiliki kedalaman sekira 48 meter dan biasanya lintasan dibagi menjadi dua pitch. Menurut Polin, pada pitch kedua akan dibuat dua jalur lintasan yang salah satunya dapat dimanfaatkan sebagai lintasan dokumentasi. Saya yang sempat turun sampai bibir pitch kedua dapat melihat kondisi lintasan yang dibuat oleh rigging man. Lumayan, setidaknya lintasan yang dibuat menjauhi jepitan tempat perlintasan air yang mengalir terjun ke dasar pitch dua. Di dasar gua masih terdapat lorong horizontal yang meski masih dapat dilalui namun begitu sempit. Pada kesempatan ini Syarif dan Yandi mencoba melakukan penelusuran meski, menurut pengakuan keduanya, tidaklah terlalu jauh. Aktivitas dipusatkan di dasar pitch dengan melakukan latihan pendokumentasian. Kamera DSLR dan beberapa buah flash dikeluarkan dan disiapkan.
Meski sedang tidak hujan, tetesan air dari atap membuat kita merasa berada di bawah langit berhujan. Air yang mengucur deras dan konstan sertaakan sangat bahaya lagi mengerikan jika ditambah dengan hujan yang turun di luar tentu debit air akan jauh lebih besar. Di dalam catatan lapangan yang dibuat oleh Farah disebutkan bahwa saat berada di dasar pitch kedua ia memang merasa atau tepatnya menganggap di luar gua sedang terjadi hujan meski nyata tidak hujan bahkan hari siang sedang cerah-cerahnya. Saya juga mengingat kembali peristiwa ceroboh yang terjadi dua atau tiga tahun yang lalu, ketika sebuah tacklebag meluncur deras jatuh ke dasar gua, sebuah tacklebag berisi peralatan dokumentasi mendarat sukses di lantai menimbulkan suara berdentam, bahkan sampai terdengar jelas di luar. Sebuah stoples pecah dalam kejadian itu, beruntung tidak satu pun kemera yang ikutan rusak. Sedikit kecerobohan bisa saja berakibat fatal dan sangat tidak terduga. Mengingat hal tersebut saya merinding: ngeri!
Tidak seperti descending yang tidak terlalu banyak memerlukan tenaga, saat ascending penelusur harus mengerahkan otot-otot tangan dan kakinya. Kelenturan tubuh saat melakukan ascending, juga ketepatan pemasangan peralatan, sangat mempengaruhi efektivitas pergerakan. Semakin lurus dan tegak ia menekankan kaki di footloop maka akan semakin tinggi jarak yang ia potong. Selain itu bagi penelusur pemula kerap kali mengalami masalah saat harus berpindah lintasan atau melalui sambungan tali. Kondisi lintasan yang terlalu dekat dengan dinding gua juga sering menimbulkan masalah. Setelah penelusuran hari kedua berakhir, Polin menceritakan persoalan yang dialami oleh Farah saat melakukan ascending dan terutama saat berpindah lintasan. Tidak jarang penelusur gua kehabisan tenaga, atau bispow alias habis power, saat harus mengangkat badannya.
Di basecamp segala peralatan dan perlengkapan yang sudah tidak digunakan mulai dibereskan dan dikemas ke dalam ransel sehingga nanti ketika tim penelusuran tiba tidak membutuhkan waktu lama untuk segera bergerak pulang. Sebentar lagi masuk waktu Asar namun terik mentari terasa masih begitu panas; angin juga seolah pergi entah ke mana menambah panas semakin menyengat. Saya yang bergerak bolak-balik dari mulut gua ke basecamp sempat bertemu beberapa penduduk yang baru pulang dari ladangnya. Di mulut gua sudah ada Yandi yang menjadi penelusur pertama yang keluar, disusul Farah, Syarif, dan Polin, sedangkan Mimi masih di tengah jalur karena kebetulan ia menjadi orang terakhir yang keluar dan bertugas membersihkan semua lintasan. Semua keluar dengan binar bahagia di wajah meski dalam keadaan serba basah kuyup dan berlumpur. Syukur alhamdulillah!
Aktivitas berat yang baru saja diselesaikan boleh jadi telah menguras habis tenaga mereka sehingga langkah kaki beberapa di antara anak-anak Mabim terlihat sempoyongan. Peralatan yang dikemas secara serampangan menjadikan drybag di punggung-punggung mereka meletot ke kanan maupun ke kiri. Di pertengahan jalan sebelum tiba di basecamp, semua peralatan, yang secara gampang sering kami sebut sebagai alat, “perbesian” terlebih dahulu dicuci memanfaatkan air yang mengalir melalui selang-selang panjang yang terjulur sampai ke pemukiman warga. Pada beberapa bagian terdapat sambungan yang selalu kami gunakan untuk memenuhi kebutuhan air selama berkegiatan. Sebagian sudah berganti baju dan selesai mengemas barang-barang. Mendung kemudian kembali datang saat kami telah bersiap pulang. Selain alat dan perbekalan, semua sampah yang kami hasilkan pun akan kembali kami bawa ke “peradaban” —leave nothing but footprint, begitu kata senior.
IV
Sopir Elf, yang kami janjikan sewa sejak hari kedatangan, sudah beberapa kali mengirimkan pesan pendek, mengabarkan bahwa dia telah menunggu kami. Jika di saat kedatangan sebagian medan yang kami lalui berwujud turunan, maka kondisi berkebalikan yang akan kami hadapi di waktu kepulangan ini. Angin yang berembus terasa basah membawa bulir air. Seolah sudah mudah diduga, sebentar lagi tentu hujan akan segera turun. Setelah berdoa bersama dalam formasi lingkaran dan melakukan tos atas nama perhimpunan kami pun memulai langkah kaki menuju pulang. Saya memperhatikan Yandi yang terlihat begitu kerepotan, mungkin beban yang dipanggulnya terlalu berat. Kali ini ia bertugas membawa tali yang dikemas dalam tas TNI. Tali sandangnya yang kelewat panjang membuatnya tak nyaman dibawa-bawa. Bagi saya jelas bahwa tas punggung selalu lebih nyaman. Saya kira Palawa harus segera memikirkan dan bersiasat untuk memiliki sebuah atau beberapa tas-tali yang baru.
Hujan yang merintik perlahan terasa mulai membesar saat kami melintas areal persawahan. Sempitnya pematang mengharuskan kami berjalan berbaris memanjang, babaduyan. Beberapa petani bercaping masih terlihat di tengah dan pinggir sawah, mungkin memperbaiki saluran air atau mengerjakan hal lain. Mereka seolah tak menghiraukan hujan yang semakin menderas yang menjadikan setapak pendakian terasa semakin licin. Sepuluh dua puluh langkah di belakang barisan yang paling akhir saya melihat anak-anak Mabim saling membantu, berusaha menghindar dari jatuh terpeleset di setapak becek. Beberapa foto saya ambil dari belakang dan agak menyamping. Sejak berangkat, hp saya memang lebih banyak berfungsi sebagai tustel sekaligus handycam, sebagai mesin tik juga sebagai tape yang bisa memutarkan lagu-lagu pilihan, ratusan lagu-lagu favorit. Hujan membesar ditambah angin yang meriuh nyaring terdengar ketika barisan belakang sampai di tengah kebun terakhir yang langsung berhadapan dengan jalan aspal. Polin dan Yandi yang sebelumnya ada di urutan belakang bergerak lebih cepat dan menyusul barisan paling depan. Mereka tentu akan sampai lebih cepat di warung Bu Enung. Sepatutnya kami tak henti bersyukur. Bagaimana ceritanya jika kami terlambat keluar? Bukankah risiko kebanjiran terbuka lebar? Awal Maret 2012 yang lalu, kita mengingat musibah meninggalnya tiga penelusur gua yang terjebak banjir di dalam Gua Serpeng II –Yogyakarta. Itu menjadi Maret kelabu bagi dunia speleologi Indonesia. Al-Fatihah.
Sambil melangkah saya membayangkan bala-bala hangat dan sambal kacangnya. Di depan tersisa Muni, Mimi, dan Syarif. Ke mana yang lain? Selepas deretan pohon pisang, terlihat Yandi dan Polin sudah duduk di balai-balai warung. Sarah, Erika, Farah, dan Kimul tidak nampak. Elf yang konon sudah menunggu pun tidak kelihatan. Hujan sedang deras-derasnya ketika akhirnya barisan belakang dapat melepas ponco dan jas hujan. Lalu terdengar bunyi Elf menderu dari kejauhan. Dari jendela sopir yang dibiarkan terbuka terlihat sosok-sosok sebagian anggota tim lainnya berada di dalam Elf. Selain anak-anak Mabim terdapat penumpang lainnya. Mungkin mereka telah menunggu kami setidaknya selama hampir satu jam, jauh sebelum hujan. Tanpa menunggu redanya hujan, segera saja ransel-ransel kami dinaikkan, diikat kuat-kuat di atap supaya tidak terbang ketika mobil melaju kencang. Selesai urusan barang-barang, selesai berpamitan dan berterima kasih atas semua kebaikan Bu Enung dan Pak Najmudin, selanjutnya giliran kami memasuki Elf dan bergerak pulang.
Jalan aspal berubah menjadi sungai dadakan selama hujan. Elf melaju cepat, sang sopir nampaknya sama sekali tidak kuatir pada hujan angin yang terkadang diselingi petir sehingga mungkin saja membuat jalan aspal menjadi licin. Para penelusur gua mengenal pemeo “perjalanan penjelajahan gua tidak lebih bahaya daripada lalu lintas yang dialami penelusur gua dari rumah menuju gua atau sebaliknya pada perjalanan pulang dari gua menuju rumah”. Sepanjang perjalanan Elf beberapa kali berhenti menaik-turunkan penumpang meski nyatanya para penumpang terus berhimpit-himpitan, kursi selalu terasa sempit tidak pernah longgar. Ada dua puluh lima orang, duduk dalam lima barisan, termasuk sopir di barisan depan paling kanan.
Anak-anak Mabim mengisi perjalanan pulang dengan istirahat di tempat: tidur dan tidur. Badan yang kelelahan dan hujan di luar merupakan suasana ideal mendukung keinginan mata untuk terpejam meski dengan konsekuensi kepala terantuk dan bergoyang ke kiri dan ke kanan. Ada kepala yang saling berbenturan, ada juga yang menghajar kaca jendela yang mulai berembun, mengaburkan pemandangan di luar. Meski baru mendekati jam lima sore namun suasana seolah sudah hampir malam. Kabin Elf gelap tak berpenerangan. Perjalanan masih panjang, lalu saya pun terlelap hingga sampai terminal. Jarak seolah dilipat-lipat, rasanya baru sebentar memejamkan mata nyatanya sekurangnya sudah satu jam. Dan kini ikatan-ikatan dilepas, ransel diturunkan. Merasa lapar, segera saya menyeberang jalan, sekadar mencari makanan ringan, beberapa roti dua ribuan kiranya cukup mengenyangkan perut sebelum makan malam sungguhan. Rupanya yang merasakan lapar bukan saya seorang sehingga salah seorang berinisiatif membelikan kami popmie alias mie instan dalam kemasan berbentuk mangkuk. Di saat yang lebih kurang bersamaan salah seorang anggota tim memberhentikan bus yang dapat membawa kami sampai ke Cileunyi. Kebetulan bus tersebut masih memiliki banyak kursi kosong sehingga dapat dimuati setidaknya oleh kami: sepuluh orang anggota Palawa Unpad yang baru pulang bermain, … eh Mabim. Maka seraya menunggu para pembeli Popmie, seluruh tas mulai kami masukkan ke dalam bus; sebagian ke dalam bagasi dan sebagian lain langsung kami bawa ke dalam kabin. Rupanya entah karena jumlah yang dibeli lumayan banyak atau warung mie yang dituju sedang banyak pembelinya sehingga untuk beberapa waktu bus harus menunggu dan menunggu hingga sampai pada suatu keadaan hilangnya kesabaran sang sopir. Klakson dibunyikan panjang-panjang dengan maksud agar para pembeli Popmie dapat segera datang. Namun sayang, perut lapar dan perhatian kepada seluruh perut lainnya yang juga keroncongan menjadikan mereka setia menunggu penjual Popmie selesai melayani semua pembelinya.
Di pinggir jalan, sopir bus semakin kehilangan kesabaran. Selain tak berhenti menekan tombol klakson, ia mengumpat dengan segala kata kasar. Saya yang sedang menikmati roti dua ribuan hampir terpancing meski akhirnya saya tahan. Hal paling penting saat ini adalah secepat mungkin sampai di Cileunyi dan bus Primajasa dengan sopir yang sedang diamuk emosi menjadi bus yang kiranya paling tepat. Saya dan kami semua harus bersabar dan mengabaikan segala rutuk kutuk dari sopir yang tidak sabar. Dengan berlari-lari para pembeli Popmie akhirnya datang dan langsung naik ke dalam bus. Saya lihat banyak wajah penumpang yang menengok ke arah anak-anak Mabim yang malam ini telah menjadi sumber masalah. Tak lama bus segera bergerak. Mulanya perlahan dan nampaknya gas terus ditekan sehingga sedikit demi sedikit laju kendaraan terasa semakin cepat.
Karena tidak tahan dengan embusan angin AC yang malam ini terasa perih menusuk tulang, saya berpindah tempat duduk ke belakang, kebetulan masih terlihat beberapa kursi yang kosong. Di ruang khusus para perokok udara terasa lebih hangat. Seraya membakar kretek saya lihat lalu lintas di luar masih lancar cenderung lengang. Mungkin karena perut sudah diganjar dengan satu cup Popmie, sebagian besar anak-anak Mabim dan pembimbingnya segera melanjutkan tidur yang terputus akibat harus berganti moda transportasi. Dan tidur seolah mampu melipat jarak dan mempercepat waktu. Keramaian pasar Ranca Ekek pun terjelang. Kami turun dan segera menerima ransel-ransel yang dikeluarkan dari bagasi dengan buru-buru. Bus mulai bersiap kembali melaju ketika salah seorang dari kami tersadar bahwa jumlah yang turun dari bus baru sembilan orang. Siapa yang tertinggal?
Seseorang berinisiatif kembali memberhentikan bus meski harus menelan sumpah serapah yang keluar dari mulut busuk sang sopir. Rupanya hati sang sopir yang kesal sejak dari Tasikmalaya tadi belum juga terobati. Bara marah masih menyala, kami melilih diam saja dan berfokus pada usaha pencarian salah seorang dari kami yang masih tertinggal di dalam. Rupanya Yandi, dia yang masih belum sadar, mungkin masih dibuai mimpi dalam perjalanan. Di bawah, setelah berhasil turun dari bus malam, Yandi segera dihajar dengan berbagai olok-olok yang dilontarkan oleh semua. Semua tertawa puas membayangkan Yandi yang celingak-celinguk di terminal Kampung Rambutan. Kami lega, Yandi tidak jadi terbawa ke Jakarta. Kantuk yang masih tersisa di wajahnya membuatnya terlihat tanpa dosa. Saya sempat menduga, Yandi sebenarnya belum benar-benar sadar dan paham atas apa yang baru saja terjadi. Lelahnya perjalanan sering kali menurunkan konsentrasi dan fakus perhatian, hal itulah yang sering dimanfaatkan oleh pencoleng jalanan yang menghipnotis para pejalan dan menguras semua barang berharga dari tangan dan kantongnya, terutama mereka yang terlihat kurang pengalaman.
Sepuluh orang saat berangkat dari sekretariat akan tetap sepuluh orang seharusnya saat kembali ke sekretariat. Apa yang terjadi pada Yandi menjadi pelajaran bagi semua tanpa terkecuali. Selanjutnya sebuah angkot segera kami muati dengan badan dan barang-barang bawaan. Sayangnya negosiasi yang coba dibangun agar kami bisa diantar langsung sampai halaman kompleks UKM Barat gagal menemukan kata sepakat sehingga akhirnya kami hanya diantar sampai di depan gerbang. Meski belum sampai di sekretariat namun rasanya kami benar-benar telah sampai di rumah. Lega rasanya dapat menyelesaikan perjalanan dengan aman tanpa kurang suatu apa pun.