CatatanCatatan Perjalanan Gua

Kaleidoskop Susur Gua Tasikmalaya

Personel Baru

25 januari 2020, tim pengembaraan susur gua mengadakan simulasi di daerah Tasikmalaya, tepatnya di Desa Cikupa dan Desa Cikapinis. Simulasi kali ini, kami membawa personel baru yaitu Sharfina x PLW 002 MT yang sebelumnya merupakan ksatria tangguh di gunung hutan. Bersama Kang Angga (GA) dan Kang Samudera (SA) sebagai pembimbing yang menemani kami.

Simulasi pertama diadakan di Desa Cikapinis yaitu di Gua Arca. Targetan hari itu ialah pemetaan sejauh 200 m, observasi dan pendataan biota gua serta fotografi. Saya, saudaraku Isti, saudaraku Timothy dan saudaraku Fina si personel baru ditemani Kang Angga dan Mang Dadar (kuncen) menjelajahi gua horizontal tersebut. Kami melakukan pemetaan top to bottom dengan formasi saya sebagai sketcher, Isti sebagai leader, Timothy sebagai shooter, dan Fina sebagai descriptor.

Pemetaan kami berjalan lancar dan enjoy sampai Fina mulai mengeluh merasakan sakit kepala. Saya yang sedari tadi berada di dekatnya mencoba memberitahu praduga saya terhadap apa yang ia rasakan, “itu mah migrain kurang tidur kali” yang dijawab langsung oleh Fina “apanan aku teh diperjalanan tidur wae”. Betul juga ya, lalu kenapa si saudaraku ini? Lekaslah kami bertanya pada Isti sebagai ahli medis yang dipercaya oleh tim susur gua. Saya memutuskan untuk kami beristirahat sejenak, minum dan makan snack sembari memeriksa keadaan Fina. Kotak P3K dikeluarkan, jaga-jaga apabila diperlukan obat. “kamu pusing gara-gara nyium bau gua, Fin?” tanya saudaraku Isti. Lalu dijawab oleh saudaraku Fina “gatau, pusing we”. “Ah ini mah belum terbiasa, kan baru lagi masuk gua. Belum beradaptasi dengan baik” vonis sang perawat yang disetujui oleh anggota tim lain dibarengi cengengesan, “anggep we Fin, ini teh ospek”.

Bala-bala Kamu Jahat Tapi Enak

Sesi masak merupakan unjuk bakat sejauh mana seorang danpur mampu berkreasi dengan bahan masakan yang ada. Seperti di master chef, terserah apapun pilihan teknik memasaknya yang terpenting rasanya enak. Kali ini, Isti dan Fina sebagai juru masak yang ditugaskan untuk mengolah makanan untuk menu sarapan kami. Rencananya di hari kedua ini kami akan berpindah ke Desa Cikupa untuk melakukan simulasi di gua vertical, Gua Wayang.

Mobilisasi kami menggunakan kolbak yang dibantu oleh Mang Dadar selaku kuncen Gua Arca. Kami sudah MoU an dengan Mang Dadar untuk dijemput di sekitar lokasi Gua Arca pukul 06:30 WIB. Tetapi karena adonan bala-bala yang sudah disiapkan ini begitu banyak, akhirnya  terpaksa harus dituntaskan dan danpur perlu bergerak lebih taktis lagi. “Tiap bala-bala lama wae” celetuk saya yang seketika teringat masakan latihan lapangan sebelumnya. “Ini mah adonannya loba teuing tuda. Meunikat bisa jadi snack siang di Tupperware-in” kata saya mencoba menilik sumber perkaranya. Saudaraku Timothy juga bilang menu pagi ini terlalu banyak, bala-bala nya satu orang dapat tiga membuat kenyang sekali. Dan tentu, waktu memasaknya menjadi lama. Pi-eval-eun yeuh bala-bala. Enak sih, tapi jahat bikin ngaret. Akhirnya kami berangkat ke Gua Wayang pukul 07:00.

Hujan Terpatri sebagai Tanda Aktivitas dalam Gua Harus Disudahi

Gua wayang vertikalnya memang tidak terlalu dalam, namun cukup sebagai medan simulasi kami melakukan rescue. Timothy dan saya kebagian menyiapkan alat penelusuran selagi Isti dan Fina melakukan interpretasi. Setelah Isti dan Fina kembali, Timothy siap menjadi rigging man dengan Isti sebagai asisten.

Setelah jalur terpasang, kami pun bergantian turun SRT-an. Kang Sam yang saat itu bertugas menemani kami ikut turun ke dalam gua. Kami sama-sama menyaksikan saudara Timothy me-rescue sang personel baru, Fina, dengan teknik power. Sebuah usaha yang sangat keras dikerahkan untuk mengangkat berat badan keduanya.

Fina yang perdana berperan sebagai korban ketar-ketir karena rescue belum berhasil sampai tetesan air mulai turun. Kang Angga yang berjaga di mulut gua berteriak seketika, “hujan euy, kedengeran gak?” hujan rupanya sudah turun lebih dulu diluar sana. Kami yang menunggu Timothy dan Fina awalnya tidak menyadari adanya rintik-rintik hujan sampai kemudian rintik itu mulai membesar.

Timothy yang sudah kewalahan juga usahanya tak kunjung berhasil, saya gelisah, isti juga panik, yang lain juga, mungkin semuanya dag-dig-dug meskipun terlihat kalem-kalem aman enjoy. Akhirnya diputuskanlah “Udah Mot, turun aja! Abis itu semua naik, kita keluar”. Sebab hujan adalah sirine bahaya bagi kami penelusur, maka segeralah bergegas untuk keluar gua.

Butterfly Terbanglah Tinggi Menyelamatkan Nundutan

Selagi Timothy melakukan rigging, saya, Kang Sam, dan Fina sama-sama mengawasi dan melihat gerak-gerik dari tiap pergerakannya. Namun karena terlalu serius mengamati, saudaraku Fina ini nundutan (terkantuk-kantuk). Asli, sepertinya Fina sudah gatal ingin descending-an.

Terdengar suara kang Sam melantunkan sebuah nyanyian, “butterfly… gimana teh lanjutannya?” seketika sepasang mata mengantuk tadi mengerjap dan mengalunlah sebuah lirik lagu “terbanglah tinggi.. setinggi anganku untuk meraihmu”. “kamu tau juga Fin?” kata Kang Sam dilanjut tawa kami bersama. “Coba, coba Fin. Lagu vagetoz kesukaan kamu apa?” tanyanya random. Saya hanya tertawa begitu pun Fina. Syukur, karena lagu-lagu hits pada zamannya itu, Fina berhasil tidak ketiduran.

Bau Didieu Mah

Hujan turun yang mengakibatkan kita menghentikan aktivitas di Gua Wayang juga sudah mengakibatkan sekujur tubuh serta baju menjadi basah. Karena terbatas oleh waktu, kami pun memutuskan untuk tidak mengganti pakaian kami dan bergegas packing semua logistik. Sampai keluar dari lokasi gua, baju kami tetap lembab.

Sore itu tanggal 27 januari 2020, pukul 17:30 WIB kami menaiki angkutan tiga perempat untuk menuju terminal Indihiang di kota. Semua memilih duduk dekat jendela sehingga kami terpencar-pencar. Hanya Fina dan Kang Angga yang duduk bersama. Saya duduk di bangku dekat pintu belakang. Karena mengantuk, saya pun tertidur. Mungkin itu pula yang dilakukan anggota tim lainnya karena kami semua kelelahan.

Angkutan beberapa kali berhenti untuk menaik turunkan penumpang. Saya beberapa kali juga terbangun karena penumpang yang duduk di sebelah saya berganti-ganti. Sampai salah satu dari mereka bergumam, “ish didieu mah bau”. Sindiran yang telak langsung membuat saya ciut, takut ketahuan kalau yang bau adalah kami. Namun untuk menutupinya, saya berusaha tetap tenang dan bersikap bodo amat seolah tidak merasa. Saya memilih kembali memejamkan mata. Lain kali memang perlu mandi terlebih dulu, jika ada kesempatan sosped ya diusahakan sosped. Kami manusia-manusia guha ini merasa bersalah atas ketidaknyamanan para penumpang lain, lain waktu kami niatkan dan usahakan HARUS MANDI.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *