CatatanCatatan Perjalanan Gua

Gempa, Caving dan Ramadhan

Oleh : Jaya Siregar, September 2009

Pengalaman yang luar biasa….. orang-orang yang luar biasa juga… terus  berlatih….

December 22, 2009 Mas Oktavian

Rope Free!”  Riki berteriak.

Siang itu gilirannya mendapat tugas sebagai riggingman. Dia orang pertama yang menjejakkan  kaki di lantai gua. Lubang sedalam  15  m dia turuni.  Lancar. Teriakannya  sebagai tanda.

Lalu satu-persatu kami descending. Di dasar gua kami sempat mengevaluasi proses rigging  sebagai pembelajaran  bersama dan tidak lupa mendokumentasikan keadaan  sekitar dengan kamera  sekadarnya.  Saat  dirasa  cukup,  kami  mulai  bersiap keluar, ascending meniti jarak 15 m vertikal.

Mengikuti urutan saat turun maka Riki kembali menjadi yang pertama naik dan keluar. Jaya dan Fikri menunggu  di dasar gua sambil bercanda saling ledek dan mengganggu Fya yang tadi sangat ketakutan hingga meneteskan air mata saat descending.

“Rope  Free ……!”, tanda  dari  Riki.

“Gwa dulu  yak, entar diperiksa lagi set SRTnya  kalok  mau ascending!” Jaya  ingin  segera  keluar.  Dua caver muda  itu tampak tidak segera menerima  usulan  Jaya  yang  lahir lebih mirip sebagai instruksi senior pada junior. Pada situasi normal suara Jaya adalah  sabda  paduka  yang  baku,  namun  dalam kesempatan itu abnormalitas nyatanya justru membuat usulan yang terlontar ditarik kembali,  “Lu dulu  ajalah Fya, tapi entar fotoin  gwa dari atas yak …!” Jaya melanjutkan.

Motif dibalik ralat instruksi yang  dipraktikkan Jaya  tentu tidak sulit  diusut.  Setidaknya  dari  berbagai  kemungkinan, yang jelas itu sebagaimana tergambar dalam kompensasi  yang dimintanya, “… tapi entarfotoin gwa dari atas yak!” itulah Jaya. Dia hobi  menjadi  model  foto  caving.  Sebagai  pembimbing ia tidak ingin  luput dari jepretan kamera, apalagi saat ascending.

Fikry yang ada di sana lebih memilih  diam dan membatu, duduk di sebongkah  bouder  besar.

Penuh semangat Fya menjajal segenap pengetahuan dan keterampilan yang telah dilatih selama simulasi. Mulailah Fya meniti tali. Tawa  canda  kembali   dimulai. Jaya dan Fikry kembali mengganggu yang sedang  konsentrasi.  Saat  Fya sudah naik enam meter, Jaya dan Fikry terlibat lagi dalam  pembicaraan yang tadi, juga  obrolan lain. Saat itulah, ketika Jaya setengah merebahkan badannya bersandar ke dinding  gua, begitu saja, kalau kata orang  Bekasi: tidak ada  hujan  apalagi  angin,   tiba-tiba  saja,  dinding gua berderak kencang,  berguncang.

Sudah jelas.  ltu  peristiwa  yang biasa  disebut gempa  tapi Jaya masih  mencoba menepis  segala  macam  pikiran yang  ada di kepalanya.  Dia berusaha menganggap pengalaman  itu hanya ilusi belaka meski nyata. Pandangannya kembali diarahkan pada lintasan. Terlihat Fya masih ada di tengah sedang bergantung, berputar-bergoyang  dan panik. Fikry yang masih ada di samping Jaya jelas  menunjukkan  rona  wajah  yang  berubah memucat.  Dia  merasakan  getaran  membesar dan  dinding berderak.

“Kang,  gempa yah?” Nada panik tidak bisa disembunyikan. Pertanyaan yang mengafirmasi kebimbangan Jaya.

“lyah, ayo lu keluar duluan!!!” Jaya berseru sebagai jawaban. Suara  keras  yang  seolah  berusaha  mengimbangi derak  di dinding  sekitar. Suara belum  selesai tapi kesigapan  Fikri justru terbuktikan.  Dengan  sigapnya  ia  memanjat jalur  scrambling tanpa tali  pengaman.  Gerakan  sigap  yang  dipertontonkan caver muda seolah menantang kualitas sang suhu. Jaya dan Fikry seperti beradu jurus. Gerakan mereka diiringi genderang swarabumi yang sedang digoyang. Angka 7,3 SR bukan sembarangan.

Hanya  sesaat, yang  scrambling sudah di luar.  Jaya yang pertama melihat kembali  ke dalam  sumuran.  Mereka masih melihat Fya berada  di lintasan. Tangisnya  sudah pecah entah sejak kapan.  Tapi  siapa tidak menangis  berada  pada  situasi yang serupa itu. Semua sudah keluar. Semua selamat. Semua bernapas dengan  lega dan gempa pun sudah tidak terasa lagi. Sungguh keadaan yang akan dalam membekas di ingatan. Setelah merasa benar-benar aman dan tenang, Fikri mengambil posisi sebagai cleaner.  la descending dan ascending sekali lagi.

Jaya masih  tidak habis  pikir  dengan  peristiwa yang  baru saja terjadi. la juga masih terheran-heran dengan  kemampuan dirinya dan Fikry yang scrambling dengan  lancar dan cepat di jalur  ekstrim.  lngatannya kembali  ke malam  kemarin saat ia harus ringging  dan mencoba lintasan. Fikri yang kemarin malam begitu sensi  dalam  hal pengaman tokh bisa  melakukan  hal yang  benar  di saat yang tepat. Mereka melakukannya tanpa pengaman.  Biasanya teriakan “rope free” menjadi tanda bahwa lintasan  bisa  kembali  digunakan  oleh  penelusur berikutnya, ternyata malam  ini mereka justru mengalami  keadaan  “free rope  15m di bidang  vertikal.

Di sepanjang perjalanan  pulang  obrolan  begitu ramai  dan hangat. Entah apalagi selain syukur… syukur… syukur. Konteks Ramadan menjadi  aktual. Sungguh ini bisa menjadi Ramadan yang penuh  dengan  kenangan  atas pengalaman ekstrim dan sangat membahayakan: alhamdulillah.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *