Di Tengah Kegelapan Abadi
(Catatan Perjalanan Mabim Susur Gua Angkatan Gema Antari)
Oleh: Nursyifa Afati Muftizasari
Bagaimana rasanya berada di tempat sempit dan gelap? Mengerikan? Menakutkan? Menegangkan? Atau bagaimana?
Bicara soal tempat sempit dan gelap, mungkin banyak orang yang merasa risih. Tempat dengan dua ciri tersebut menjadi salah satu perjalanan berharga saya di masa-masa semester dua kuliah. Nuhun, Palawa, semester dua saya sangat berwarna.
Operasional kedua pada masa bimbingan angkatan Gema Antari yakni Susur Gua (Caving). Materi dan simulasi telah kami, angkatan Gema Antari, jalani demi terlaksananya operasional Susur Gua dengan lancar dan selamat. Pada operasional Mabim Susur Gua kali ini, lokasi pelaksanaannya di Desa Wakap, Tasikmalaya. Ya, satu lagi kota di Jawa Barat yang saya kunjungi, Tasikmalaya. Ternyata saya sudah cukup lama jadi penghuni Jawa Barat.
Gua yang kami susuri yakni Gua Batu Badak untuk gua vertikal dan Gua Cukang Lemah untuk gua horizontal. Saat pelaksanaan materi, kami dibagi menjadi dua tim, yakni tim horizontal dan tim vertikal. Tim horizontal melakukan pemetaan gua dan eksplorasi gua, sementara tim vertikal melakukan praktik single rope technique (SRT) dan eksplorasi gua. Pada hari berikutnya, jatah vertikal dan horizontal ditukar.
Gua vertikal adalah yang pertama kali saya dan tim saya jelajahi. Pada saat simulasi caving di papan panjat PMPA Palawa Unpad, saya belum mempraktikkan intermediet dan variasi lintasan. Setelah simulasi, saya merasa terlalu hectic dengan aktivitas perkuliahan dan orientasi sehingga tidak sempat berlatih lagi. Sehatusnya memang saya bisa membagi waktu, namun sejuah ini saya sering merasa kesulitan untuk benar-benar profesional dalam memanajemen waktu.
Menuruni gua dengan berbekal seutas tali dan segala perlengkapan yang menempel pada tubuh adalah sebuah pengalaman yang mengesankan bagi saya. Tidak semua orang diberi kesempatan berharga untuk melakukan kegiatan seperti ini. Rasanya saya bersyukur bisa jadi bagian dari sekian sedikit orang Indonesia yang pernah menelusuri gua vertikal.
Gua dalam dan gelap, bagi saya. Semakin turun, semakin minim cahaya yang bisa saya pandang. Turun dan turun lagi, hanya cahaya headlamp yang menerangi saya. Kegelapan gua. Katanya, kegelapan abadi.
Saya turun dengan, alhamdulillah, selamat sampai bawah. Ketika memijakkan kaki di dasar, saya langsung menatap ke atas, melihat seberapa jauh saya telah turun. Turun dengan kedalaman lebih dari tiga puluh meter dan menitipkan nyawa pada alat, rasanya menegangkan. Saya sempat berpikir macam-macam saat di tengah. Tapi baguslah, ketika pikiran negatif muncul, saya bisa langsung menyingkirkannya. Saya berhasil turun dan menemui saudara-saudara saya yang sudah sampai bawah lebih awal.
Sampai di bawah, saya melihat sekeliling. Saya mematikan headlamp saya beberapa detik dan melihat betapa gelapnya di bawah, padahal saat itu headlamp saudara-saudara saya masih hidup.
Kegelapan gua yang pertama kali saya rasakan. Gua pertama yang saya masuki, Batu Badak. Jadi seperti ini rasanya caving. Saya jadi ingat ketika medan operasional Pendidikan dan latihan Dasar (Diklatdas) Januari lalu. Saat itu, ada pelatih yang bertanya tentang operasional apa yang paling saya coba, entah karena apa saat itu saya menjawab caving. Saya tidak tahu alasan pastinya saya menjawab itu, jawaban itu muncul begitu saja. Sekarang, saya benar-benar telah mencobanya.
Salah satu pembimbing sempat menyuruh keseluruhan dari kami untuk mematikan headlamps saat di dalam gua. Kami melakukannya dan seketika saya merasakan sebuah kegelapan yang belum pernah saya rasakan.
“Ini yang namanya kegelapan abadi,” kata pembimbing yang tadi menyuruh kami mematikan headlamp.
Kegelapan abadi. Ya, memang pantas untuk disebut demikian. Tak ada sedikit pun cahaya dari mulut gua. Dari dalam gua, jelas tidak ada cahaya.
Hari kedua penelusuran gua. Kali ini, tim saya mendapat jatah gua horizontal, Gua Cukang Lemah. Kali ini tidak bermain SRT, tapi bermain pemetaan. Ketika menuju Gua Cukang Lemah, saya teringat materi pemetaan gua yang telah dilaksanakan saat simulasi. Masih melekat di pikiran saya ketika pengolahan data ada rumus-rumus rumit. Ada sin, cos, dan sigma. Materi sin–cos–tan saat SMA bukanlah materi yang mendukung naiknya nilai saya. Baik di matematika maupun fisika, hal yang berhubungan dengan sin–cos–tan bukan keahlian saya. Sekarang, di Palawa, saya bertemu lagi dengan hal-hal itu. Mau bagaimana lagi, ya sudah, mari jalani dulu pengambilan data pemetaan, urusan pengolahan data pikirkan lain hari.
Penelusuran horizontal bagi saya lebih menarik dari vertikal. Saya merasa benar-benar menelusuri gua. Ornamen-ornamen gua lebih terlihat di gua horizontal, meski sejujurnya saya masih belum hafal nama ornamen-ornamen tersebut. Bagi mahasiswa yang dunia perkuliahannya berkecimpung di hal-hal sejenis ini, gua pasti mereka anggap surga dunia. Bahkan bagi mahasiswa Jurnalistik seperi saya yang tak pernah mempelajari ornamen di perkuliahannya, gua juga merupakan surga dunia.
Gua memang tempat yang unik dan menarik, sebuah mahakarya Sang Pencipta yang patut disyukuri. Sekali lagi, saya merasa bersyukur bisa menjelajahi gua. Gua kedua yang saya masuki dalam sejarah hidup saya, Cukang Lemah. Semoga ke depannya bisa lebih banyak gua lagi yang saya masuki. Saya suka pemandangan di gua, meski sempit dan gelap. Sebenarnya tidak semua sempit, banyak tempat-tempat yang luas juga, tergantung guanya.
Pemetaan tim kami dimulai dari bottom, maka dari itu kami berjalan dahulu untuk sampai ke bottom. Teknisnya berbeda dengan tim horizontal hari pertama, hari pertama dimulai dari mulut gua.
Perjalanan menuju bottom diwarnai dengan berbagai cara melangkah. Ada tempat di mana kami bisa berjalan dengan leluasa. Ada masa kami tidak bisa berdiri dengan tegak, harus sedikit atau banyak menunduk. Ada pula masa ketika kami harus jalan jongkok bahkan merayap. Semua tergantung medan dan kami sering tidak bisa pilih-pilih medan sebab hanya ada satu jalan.
Ada satu hal yang sangat menarik bagi tim saya. Sekali lagi, saya tegaskan bahwa saat penelusuran gua, kami berada di tempat yang sempit. Di tempat yang sempit itu, ada salah satu saudara saya yang kelepasan buang angin. Tak hanya sekali, namun dua kali, di gua vertikal dan gua horizontal. Bisa terbayang betapa kami saat itu merasakan sensasi bau yang luar biasa. Setiap mengingat hal itu, rasanya ingn tertawa. Saya bersyukur karena penciuman saya tidak terlalu peka sehingga saya tidak terlalu “tersiksa”. Ada bagusnya juga ternyata punya penciuman yang kurang peka.
Seusai semua agenda, kami pulang ke Jatinangor. Di perjalanan pulang, dalam hati saya ucapkan terima kasih dan selamat tinggal untuk Tasikmalaya. Satu lagi yang saya ucapkan dalam hati, “Sampai jumpa di lain petualangan menyenangkan.”
Kembali ke Jatinangor, kembali ke Sekretariat PMPA Palawa Unpad, itu artinya kembali ke dunia nyata dengan segala tugas kuliah menanti. Sudah hari Senin saat kami tiba di Jatinangor, sudah hari kuliah. Ada tuga tugas mata kuliah Reportase yang harus terkumpul pukul tujuh pagi, dan dua tugas sama sekali belum saya sentuh. Kurang dari enam jam menuju pukul tujuh, di waktu yang singkat itu saya berusaha untuk tidak bangkar.
Begitulah cerita akhir pekan saya tanggal 13-15 April 2018, sebuah pengalaman yang luar biasa. Terima kasih, Tasikmalaya. Terima kasih, Palawa. Terima kasih, saudara-saudaraku Gema Antari. Terima kasih, semua pembimbing. Terima kasih, untuk semua yang telah menyukseskan operasional caving ini. Operasional berjalan dengan baik. Khusus untuk saya, operasional ini diakhiri dengan “mengejar deadline”, meski semua juga tahu bahwa “takkan lari deadline dikejar”.
Semester dua cukup membuat saya sering mengeluh. Tugas yang silih berganti tanpa jeda sering membuat saya lelah pikiran. Saya bersyukur memiliki Palawa.